Heboh, pemotongan Bantuan Langsung Tunai (BLT) telah membuat nama Blora viral di jagat maya. Dimulai dari kasus penyunatan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM di Desa Sumberejo Kecamatan Randublatung, setiap warga penerima BLT diminta setor Rp 20.000 oleh istri perangkat desa yang alasannya untuk biaya fotocopy dan transportasi perangkat.
Berikutnya penyunatan BLT di Desa Keser Kecamatan Tunjungan. Di sini setiap PKH penerima BLT diwajibkan bayar iuran melalui perangkat desa dan sekretaris desa sebesar Rp 100 ribu, alasannya untuk biaya pembangunan tempat ibadah.
Lalu pemotongan BLT Dana Desa di Desa Sumurboto Kecamatan Jepon. Setiap warga dikenakan Rp 75 ribu dan harus dibayarkan ke kantor desa sebelum pencairan BLT. Alasannya untuk dibagikan kepada warga miskin lain yang tidak menerima BLT.
Apa yang dilakukan oleh perangkat desa dan kepala desa tersebut termasuk dalam kategori pungutan liar (pungli) yang dilarang oleh aturan.
Praktek pungli sudah merupakan budaya dan sudah mendarah daging di negeri ini. Pungli sudah bukan lagi rahasia umum, dan berlangsung secara terbuka dan transparan tanpa ada perasaan bersalah bagi para pelaku pungli.
Pungli BLT yang terjadi di Kabupaten Blora dilakukan secara individu dan berkelompok. Dan semua berlangsung secara masiv dilakukan dengan sadar untuk mendapatkan penghasilan lebih dan untuk memperkaya diri.
Ketidak mampuan pemerintah untuk menindak tegas terhadap pelaku pungli di tingkat desa dikarenakan pungli juga terjadi di tingkat atas. Maka jangan heran jika pungli semakin tumbuh subur dan berkembang di kabupaten Samin ini.
Pungli di institusi pemerintahan seperti Kelurahan dalam hal pembuatan KTP, akte kelahiran dan yang agak besar adalah Proyek Pengadaan Prasarana dan Pembangunan Konstruksi, di Kepolisian ada pengadaan SIM, dan Pengurusan STNK. Boleh dikata hampir semua lembaga-lembaga pelayanan publik ada pungli bahkan di pasar-pasar pun ada palak-palak yang ujung-ujungnya menyengsarakan masyarakat.
Suap dan pungutan, berbeda tapi sama-sama dalam satu lingkaran. Dalam konstruksi hukum penyuapan (pemberi suap) adalah pelaku utama atau pelaku turut serta aksi tindak pidana korupsi/kolusi, maka dalam konsepsi pungli, pemberi pungli hanyalah korban.
Bila dalam kasus kriminal lain, pelaku sodomi biasanya punya masa lalu pernah disodomi oleh pelaku lain. Maka begitu juga modus pejabat yang melakukan pungutan liar, mereka rata-rata punya masa lalu pernah mengalami pemerasan atau suap untuk mendapatkan jabatan yang diembannya sekarang ini.
Jika mayoritas perangkat desa di Kabupaten Blora menggunakan suap untuk mendapatkan kursi yang diduduki sekarang, maka jangan heran jika mereka akan selalu mencari peluang pungli dalam setiap memberikan pelayanan kepada masyarakat. Inilah musibah besar yang sangat kita takutkan dari seleksi Perades dengan sistim CAT kemarin. ***