OPINI  

Bangunan Sekolah

TAHUN ini, pemerintah akan memperbaiki 198 yang rusak di . Salah satunya SD Gadon Kecamatan yang terjadi insiden tewasnya seorang pekerja bangunan.

Setiap tahun hampir selalu ada dasar negeri (SDN) di Blora yang rusak.
Mengapa ruang kelas sekolah dasar banyak yang rusak, padahal yang dikucurkan mencapai miliaran rupiah?
Di awal Tahun 2023, tiga ruang kelas SDN 2 Sambongrejo kondisinya rusak parah. Hingga selama dua tahun kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di rumah warga.
Pada Juli 2023, 2 Bangkle Blora, tiga ruang kelas rusak hingga kegiatan belajar mengajar ada yang dilakukan di ruang perpustakaan.
Umur teknis bangunan sebenarnya 14 tahun, tapi ternyata ada bangunan diperbaiki dengan dana alokasi khusus (DAK) tidak lama, tidak lebih lima tahun roboh, bahkan ada cuma dua tahun platfon jatuh, karena kualitas, tembok pecah.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan miliaran rupiah untuk biaya perbaikan dan ruang kelas.
Faktor utama bangunan cepat rusak adalah renovasi yang “abal-abal”, dari penggunaan bahan berkualitas rendah dan tidak sesuai spesifikasi, hingga pelaksanaan yang tidak sesuai prosedur.
Walaupun bangunan sekolah direnovasi melalui metode swakelola. Tapi oleh kepala sekolah diborongkan lagi ke pihak lain. Tak jarang, bangunan belum selesai ada yang ditinggal oleh pemborongnya.
Swakelola adalah metode pembangunan yang pelaksanaan dan pengawasan diakukan oleh panitia pembangunan sekolah dan tidak boleh diserahkan pekerjaan kepada pihak ketiga.
Panitia tersebut terdiri dari kepala sekolah sebagai penanggung jawab, komite sekolah, unsur guru, dan unsur masyarakat. Tetapi masih sering terjadi, pihak sekolah dan masyarakat tidak dilibatkan pada kegiatan renovasi.
Pemerintah Pusat telah mengelontorkan dana besar melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik kepada pemda untuk memperbaiki dan membangun ruang kelas SD. Ditambah lagi, alokasi anggaran yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah () Blora.
Faktor lain penyebab ruang kelas roboh dan rusak berat adalah penyalahgunaan system swakelola yang tidak dikerjakan oleh masyarakat, melainkan oleh pihak ketiga atau pemborong yang ditunjuk langsung.
Pola tersebut memunculkan istilah “terima kunci”, artinya pihak sekolah tidak terlibat proses perbaikan, melainkan terima jadi atau dikenal dengan terima kunci.
Hal itu dikarenakan masih adanya pemborong yang didrop. Namanya swakelola, tapi pemborong dari luar yang mengerjakan.
Padahal tidak mungkin pemborong masuk tanpa ada action yang mengakomodir pemborong itu masuk, apalagi pemborong itu datang dari luar lingkungan itu (masyarakat).
Akibatnya biaya yang dikeluarkan menjadi besar, dan kualitas bangunan menjadi rendah.
Berikutnya adalah faktor kurang ketatnya kontrol dan pengawasan dari saat pelaksanaan, perbaikan dan pembangunan sekolah yang rusak.
***

Baca Juga:  Migas, Kutukan buat Blora