Social climber adalah sebuah istilah yang merujuk kepada orang yang menggunakan pertemanannya dengan orang lain guna meningkatkan status sosialnya.
Mereka akan berteman terutama dengan orang yang diyakini memiliki status sosial yang cenderung populer.
Social Climber yang dicetuskan oleh Wood (2006), sebuah sebutan untuk orang yang mencari pengakuan sosial yang lebih tinggi dari kondisi atau status yang sebenarnya.
Social climber itu sendiri diterjemahkan sebagai usaha yang dilakukan untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang mempunyai status sosial tinggi. Untuk itu, maka pelaku social climber akan selalu berusaha melakukan berbagai cara dengan mengunggah foto, tulisan, dan sebagainya di media sosial.
Istilah seorang Social Climber kembali mencuat seiring dengan ramainya pemberitaan kasus penipuan di media sosial.
Social climber disini bukan sebatas memanfaatkan sosial media sebagai eksistensi diri, namun mendongkrak popularitas demi pengakuan atas status sosial yang lebih tinggi di tengah publik. Tentu, tujuannya adalah membangun kepercayaan bahwa dirinya sangat dibutuhkan orang lain, terutama terkait bisnis. Lebih lanjut, social climber bisa jadi tidak sebatas _influencer_ media promosi bisnis orang lain, namun menahbiskan diri sebagai wadah tepat untuk investasi.
Demi melancarkan visi misinya, social climber pun tak segan melakukan berbagai strategi post truth (Steve Tesich, 1992) melalui tipu-tipu di media sosial. Secara ekstrem, social climber pun menjadi sebuah potret “si miskin yang ingin terlihat kaya di medsos”.
Social climber diberikan kepada orang-orang yang suka memamerkan segala sesuatu yang ia punya, entah itu gawai terbaru, liburan ke tempat mewah, dan lain sebagainya. Hal ini ia lakukan hanya untuk menaikkan status sosial diri.
*