Umumnya peribahasa kita berbunyi; anak polah bapa kepradah. Artinya, apa yang dilakukan oleh seorang anak maka orangtua akan terkena dampaknya. Dalam kasus seleksi perangkat desa di Kabupaten Blora bunyi peribahasa berkata lain, pimpinan pola kepala desa kepradah.
Seperti yang dialami kepala Desa Beganjing (Japah) dan kepala Desa Nginggil (Kradenan) yang pada September tahun lalu divonis 5 bulan oleh Pengadilan Negeri Blora. Andai saja mereka tidak mengikuti pola yang “dimainkan” oleh jajaran Pemkab Blora dalam melaksanakan seleksi perangkat desa, mungkin kedua orang itu tidak akan pernah merasakan dinginnya lantai penjara.
Sekarang giliran kepala Desa Kentong (Cepu) yang pada minggu ini akan menjalani sidang ke-3 di PN Blora dalam kasus yang sama yaitu terkait seleksi perangkat desa. Dan dimungkinkan setelah ini masih ada lagi kades-kades lain yang akan digilir duduk di kursi pesakitan, mengingat masih ada belasan laporan di kepolisian, puluhan aduan di kejaksaan, dan belasan Kades yang namanya sudah masuk ke KPK, dan masih menunggu proses hukum.
Persidangan Kades Kentong sempat menarik perhatian publik Blora karena dianggap memiliki kedekatan dengan penguasa di Blora Mustika. Mulai dari pelepasan status tahanan oleh Polres Blora menjadi tahanan rumah pada Juli 2022, penangkapan oleh Bareskrim Polri terhadap tiga orang yang diduga melakukan pemerasan terhadap Kades Kentong, hingga intervensi penguasa terhadap lawyer yang mendampingi warga pelapor Kades Kentong.
Yang tidak menarik, publik sudah bisa meramalkan bahwa vonis yang akan dijatuhkan kepada Kades Kentong tidak akan jauh beda dengan yang pernah diganjarkan pada Kades Beganjing dan Kades Nginggil, yaitu diancam hukuman 6 bulan, divonis penjara 5 bulan, dan cukup menjalani kurungan 50 hari saja setelah nantinya mendapat remisi Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Ringannya hukuman dikarenakan aparat penegak hukum (APH) Blora hanya menerapkan Pasal 263 KUHP tentang perbuatan memalsukan dokumen, dan tidak menyentuh pasal jual beli jabatan.
Padahal dokumen palsu yang diterbitkan oleh Kades berkaitan dengan jual beli jabatan. Karena tanpa dokumen palsu itu, calon perangkat tidak bisa lolos seleksi—hingga menduduki jabatan sekretaris desa.
Terkait seleksi perangkat desa di Kabupaten Demak, dua orang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang divonis satu tahun penjara karena dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah menerima uang suap dari seleksi calon perangkat desa.
Di Kabupaten yang dikenal sebagai Kota Wali ini, 8 Kades juga dituntut hukuman 3 tahun penjara karena kasus tindak pidana korupsi berupa suap dalam seleksi perangkat desa.
Mengapa APH di Blora tidak mengaitkan pemalsuan dokumen dengan adanya imbalan uang sebagai mens rea / niat jahat?
Semoga itu hanya dikarenakan kurangnya kejelian APH semata, dan bukan karena adanya intervensi dari penguasa.
***