Sepenggal Pantun untuk Gadis Kecil si Pemulung

AWAL September 2021, langit di atas Lapangan Kridosono- tampak cerah. Seorang terlihat asik dan bersemangat mengambil barang bekas seperti botol, gelas dan kotak plastik bekas wadah nasi. Barang-barang bekas itu kemudian dimasukan ke dalam glangse/bagor bekas tempat unorganik.
Keberadaan gadis kecil diantara para orang-orang yang sedang berolahraga untuk meningkatkan , akhirnya menarik perhatian mantan Sekda Blora, yang pagi itu juga sedang berolahraga pagi di lapangan Kridosono.
Anak seusia dia yang lain sedang menggunakan gawai untuk daring kegiatan sekolah atau melihat tayangan hiburan di televisi, bahkan mungkin sedang bermain dengan teman sebayanya.
Mengapa dia mau jadi pemulung yang oleh sebagian masyarakat dianggap memiliki konotasi negatif, dekil, kotor dan kumuh?
Namun di sisi yang lain dirinya jadi kagum melihat penampilan saat sedang melaksanakan tugas mengais rezeki di tengah orang-orang yang sedang meningkatkan imunitas diri.
Penasaran, Bambang Sulistya yang sekarang menjabat Ketua itu lalu mengajak gadis kecil itu ngobrol di warung kaki lima yang ada di sekitar lapangan Kridosono.
Gadis kecil itu menyebutkan namanya, Inayatul Solikah. Tiga bersaudara yang bapak ibunya sehari-hari bekerja sebagai pemulung.
Masih duduk di kelas 5 salah satu SDN di Kecamatan Blora, Inayatul Solikah, Rabu (1/9) pagi itu sedang membantu orang tuanya, memulung di seputar Lapangan Kridosono.
Dia bercerita, sejak sekolah diliburkan tidak boleh belajar tatap muka, ia ingin membantu memulung untuk meringankan beban bapak ibunya.
Sebelum matahari terbit, ia sudah meninggalkan rumah tanpa ada sarapan pagi. Menyusuri -jalan menuju ke tempat yang diperkirakan ada “rezeki” berupa barang-barang bekas yang sudah dibuang sembarangan di jalan atau di tempat sampah. Salah satu sasarannya adalah Lapangan Kridosono.
Hasil perolehan barang bekas, dan juga uang hasil pemberian dari orang-orang yang iba kepada kepad aInayatul, semuanya diserahkan pada orang tuanya.
“Tiap hari selalu dapat sedekah berupa makanan dan uang dari orang-orang yang ketemu,” ujar gadis kecil itu.
Penghasilan dari penjualan barang bekas sebesar Rp 500.000 per bulan, ditambah pemberian uang dari orang-orang yang punya kepekaan .
Karena tidak punya gawai, untuk mengikuti pelajaran sekolah ia datang sendiri ke rumah gurunya pada sore hari. Diluar , ketika Bambang Sulistya menanyakan cita-citanya kelak. “Saya ingin jadi dokter,” jawabnya cepat.
Apa alasannya pingin jadi dokter? “Pingin membantu keluarga dan masyarakat agar tetap dan tidak mengalami lagi ada musibah penyakit virus corona,” katanya tanpa jedah.
Mendengar jawaban dari Inayatul Solikah yang membuatnya terkejut sekaligus bangga, Bambang Sulistya pun langsung membacakan sepenggal untuk gadis kecil si pemulung;
Di pagi buta engkau telah bersiap diri, meski dinginnya udara pagi engkau tak peduli,
Demi kehidupan keluarga dan hidup mandiri, engkau bukanlah kaum jalanan yang tak tahu diri,
Tapi engkau pahlawan kebersihan yang tak pernah berpromosi,
Tatkala kau bercermin menimbang diri, apakah diriku pantas diakui sebagai . (*)

Baca Juga:  Wayang Thengul Bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *