Parikan, Rubrik Budaya Jawa yang Masih Dilestarikan Koran Diva

.-

Di usianya yang 82 tahun, tubuh dan pikiran Sugijono masih terlihat bugar dan cekatan. Karya-karya tulisnya dalam bentuk dan geguritan selalu mewarnai penerbitan surat kabar Diva dalam setiap edisinya dalam ”.

Tulisan bernada kritik dan ajakan kebaikan, oleh ayah dari 5 anak laki-laki dan 1 perempuan ini sering kali disampaikannya dalam bentuk parikan berantai atau bersambung.

Untuk parikan yang dikirim ke Koran Diva, kakek dari 15 cucu ini mengaku tidak asal menulis–melainkan dipikirnya dengan serius dan dengan kehati-hatian.

“Ketika menulis parikan saya tidak asal, tapi saya pikir serius dan hati-hati,” ujar kakek yang akrab disapa Mbah Gik itu, Selasa (15/11) lalu.

Dulu, ketika masih menjadi guru di SMA Negeri 1 Blora, Mbah Gik yang lahir di Magetan pada 10 September Tahun 1940 ini memang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Ditambah kecintaannya terhadap Jawa, menjadikannya gemar menulis bahasa Jawa–hinga dipercaya mengajar bahasa Jawa dan menjadi pembimbing Teater di SMAN 1 Blora.

Ketika masih aktif sebagai guru pada saat itu, Mbah Gik yang sejak kecil memiliki cita-cita ingin menjadi ini juga sering menulis artikel berbahasa Jawa di majalah-majalah berbahasa Jawa.

Baca Juga:  SDN 3 Brabowan Berikan Tali Asih kepada Guru yang Purna Tugas

“Dulu saya sering nulis artikel atau cerpen berbahasa Jawa untuk majalah-majalah bahasa Jawa” katanya sembari menyebut beberapa majalah berbahasa Jawa terbitan Jawa Timur.

Mantan Kepala SMA Negeri 1 Blora yang pensiun Tahun 2000 ini mengaku menulis Pak Rikan di sela-sela waktu senggangnya. Bahkan tak jarang parikan berantai itu ditulisannya pada tengah malam.

“Sering saya menulisnya ketika terbangun tengah malam dan ada inspirasi,” papar Mbah Gik seraya menambahkan, kebanyakan inspirasinya menulis justru didapat dari membaca berita-berita di Koran Diva. “Pokoknya Koran Diva harus tetap punya rubrik ,” pesan Mbah Gik.

Ditengah-tengah kegiatannya yang aktif menulis dan mengarsip Pak Rikan, alumni IPG Madiun (sekarang IKIP-red.) Tahun 1966 ini ternyata juga sibuk dan aktif di berbagai dan agama. Diantaranya adalah sebagai ketua Kecamatan Blora, Warga Madiun di Blora, Paguyuban Mantan Kepala Sekolah, dan sebagai LPPK Blora.

“Prinsip saya, kita itu harus selalu berperan agar otak selalu berpikir,” ungkap kakek yang rajin minum herbal rebusan daun kepladehan (benalu) setiap hari sebagai rahasia kebugarannya ini.

Kepada para pembaca Pak Rikan di Koran Diva, Mbah Gik berpesan agar tetap menjaga persatuan dan jangan mau di pecah belah oleh pihak manapun. Teruslah melestarikan budaya daerah khususnya Jawa. Jika ada yang ingin belajar dan diskusi bersama mengenai tulisan Pak Rikan yang baik, rumahnya di Sumodarsono, Blora Kota selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar.

Baca Juga:  Gunakan Dana Talangan, Kades Wotbakah-Japah Perbaiki Talud dan Gorong-gorong yang Ambrol

“Silahkan jika ada yang mau belajar bersama saya tentang tulisan-tulisan atau parikan yang baik, InsyaAllah saya senang,” katanya.

Dijelaskan oleh Mbah Gik, parikan merupakan salah satu jenis puisi Jawa modern yang serupa dengan pantun Melayu dalam hal wujud spasial dan pola rimanya. Parikan dapat dianggap sebagai puisi rakyat karena hidup dan berkembang di tengah-tengah rakyat.

Sebagaimana kesenian rakyat yang lain, kebanyakan wacana parikan yang ditemukan di lingkungan masyarakat Jawa tidak diketahui siapa penciptanya. Wacana parikan dapat ditemukan dalam berbagai kehidupan masyarakat Jawa, menjadi bagian kehidupan sehari-hari dengan muatan nasihat, sindiran, senda gurau, dan sebagainya.

“Parikan juga muncul sebagai seni pertunjukan, baik fungsional seperti halnya dalam pertunjukan ludruk maupun sebagai isen-isen (isian) berupa cakepan senggakan ‘syair yang meningkahi syair utama dalam gending,” pungkasnya. (*)