Wayang Thengul Bojonegoro

adalah salah satu jenis seni pewayangan dari Bojonegoro. Seni pertunjukan dari Bojonegoro ini terbuat dari kayu berbentuk boneka yang diberi pakaian serta asesoris sesuai dengan kedudukan dan perannya.

Referensi wayang thengul sangat minim, dari beberapa buku mengenai wayang, ternyata wayang thengul belum tercatat. Wayang thengul telah menjadi kesenian Bojonegoro. Untuk mengembangkan wayang thengul, seniman Bojonegoro, menciptakan Thengul.

Beberapa dalang wayang thengul Bojonegoro, ternyata jarang yang bisa menceritakan wayang thengul ini. Bahkan Dinas Kebudayaan dan Kabupaten Bojonegoro, yang menyatakan wayang thengul sebagai ikon, juga belum mempunyai catatan mengenai sejarah wayang thengul.

Santosa (67 tahun) warga Desa , , Kabupaten Bojonegoro, dalang wayang thengul dan wayang krucil yang sekaligus menjadi perajin kedua jenis wayang tersebut, mungkin satu-satunya yang mempunyai catatan atau setidak-tidaknya ceritera mengenani wayang thengul. Beliau menggeluti dalang wayang thengul sejak masih muda, sekitar usia 14 pada tahun 1959. Beliau keluar dari bangku sekolah STN (Sekolah Teknik Negeri) Padangan Bojonegoro kelas dua, untuk menggeluti seni pedalangan wayang thengul.

Wayang thengul muncul sekitar tahun 1930, seorang pemuda bernama Samijan dari Desa Banjarjo, Kecamatan Padangan membuat wayang boneka yang menyerupai wayang menak yang pada waktu itu sudah terkenal di wilayah Kudus. Kemungkinan, Samijan terinspirasi wayang menak Kudus, yang penyebaran meluas sampai Padangan berbatasan dengan , Kabupaten , yang pada waktu itu wayang menak Kudus sebagai media siar agama Islam.

Jika Wayang Golek Menak sebagai media siar agama Islam, lain halnya dengan Samijan. Niat membuat wayang thengul selain untuk mengembangkan kreatifitas seninya, juga untuk mencari nafkah hidup, karena pada tahun 1930an perekonomian rakyat sangat sulit. Dia membuat wayang thengul untuk mengamen, berniat keliling dari desa satu ke desa lainnya (mengembara). Niat yang kuat untuk keliling (mengembara) dalam bahasa Jawa “methentheng niyat ngulandara” dengan mengamen mendalang wayang boneka kayunya, yang dijadikan nama wayangnya dengan sebutan thengul (theng dari akronim methen theng, dan ngul dari kata ngul andara). Namun juga ada yang mengartikan karena wayang thengul ini kepalanya dapat digerakan ke kiri ke kanan, atau methungal menthungul , maka lalu disebut thengul.

Baca Juga:  Sepenggal Pantun untuk Gadis Kecil si Pemulung

Tidak menduga niatan Samijan membuat wayang thengul yang semula hanya untuk mengamen, ternyata dari hari ke hari yang menanggap semakin banyak. Bukan saja di Padangan, tetapi sampai ke Bojonegoro, Dander, Kanor bahkan sampai wilayah Tuban. Yang menanggap tidak hanya sekedar sebagai hiburan, ari kelompok pengamen, bahkan untuk keperluan hajatan mulai berkembang.

Satu kotak wayang Samijan yang dibawa untuk ngamen keliling, dinamakan Wayang Geyer. Nama ini bisa jadi karena beratnya wayang satu kotak, sehingga membawanya yang dengan cara dipikul hingga nggeyer-nggeyer (merasakan beratnya mengangkat beban). Dari nama Wayang Geyer ini, nama Samijan pun terkenal dengan sebutan Ki Dalang Geyer.

Ketenaran Dalang Geyer Samijan dengan wayang thengulnya berjalan hingga tahun 1950-an. Waktu itu penanggap wayang thengul belum merasa puas kalau belum menanggap

dhalang Geyer. Dan nama geyer sangat identik dengan wayang thengul, sehingga seorang dalang wayang thengul di Bojonegoro pun akhirnya dikenal dengan sebutan dalang geyer.

Penerus Samijan ada-lah Tayib dari Desa Caper Kecamatan yang sebelumnya sebagai penabuh gamelan (niyaga) yang setia mengikuti Samijan. Karena Samijan tidak memiliki anak, maka penerusnya bukan keturunannya tetapi orang lain.

Wayang thengul Bojonegoro, mengambil bentuk dan pakaian kethoprak. Lakon-lakon yang digelar sangat variatif, terutama dalam kisah babad atau cerita rakyat. Untuk wilayah Bojonegoro yang terkenal dengan kisah atau cerita Anglingdarma, Babad , Babad Ronggolawe. Cerita Panji, Babad Majapahit juga sering dipentaskan.

Gamelan pengiring menggunakan gamelan laras slendro atau pelog, juga diiringi waranggana. Layar bagian tengah terbuka, berbeda dengan layar (geber) yang layar backgroundnya berupa lembaran kain penuh. Pada pakeliran wayang thengul layar bagian tengah terbuka atau diberi lubang diperuntukan sebagai media pementasan gerak wayang, sehingga kalau ditonton dari belakang layar akan tampak bentuk wayang dan pergerakan dalang, lain halnya dengan wayang kulit yang hanya terlihat bayangan siluetnya karena sorotan cahaya (lighting) dari arah muka. Panjang layar pun tidak sepanjang wayang kulit, hanya sekitar 3 meter sampai 4 meter.

Baca Juga:  Canthik Prahu Rajamala yang Mistis

Wayang-wayang lainnya dijajar di sisi kiri dan kanan dari bagian layar yang terbuka. Gunungan (kayon, makara) terbuat dari ikatan bulu ekor merak, diikat berjajar ditancapkan seperti kepala raksasa yang menghadap ke muka. Dalam satu kotak wayang thengul terdiri dari 70 sampai 80 buah. Tempat dudukan (tancapan) wayang menggunakan batang pisang.

Wayang thengul tak jauh berbeda dengan wayang Golek Menak Kudus, atau wayang Golek Jawa Barat, di mana bagian kepalanya dapat digerakkan ke kanan ke kiri, bahkan mendongak ke atas.

Wayang thengul yang awalnya untuk mengamen, dalam perkembangannya juga untuk hajatan, seperti khitanan, , membayar nazar, untuk adat seperti bersih desa, di Bojonegoro dengan istilah . Lama pagelaran antara 6-7 jam, terkadang juga siang malam. Bahkan sekarang juga untuk ruwatan atau murwa kala.

Pakem bentuk wayang hanya tokoh-tokoh tertentu, untuk peran tokoh raja, ksatriya, atau patih yang tidak bisa menggantikan peran lain yang selaras. Tokoh-tokoh seperti Menak Jingga, Kecanawungu, Damarwulan, Maudara, Aria Penangsang, Ronggolawe, dan lainnya yang memiliki spesifikasi karakter, dibuatkan bentuk tersendiri.

Dalam pagelaran wayang thengul tidak ada tokoh punakawan yang spe-sifik, seperti wayang kulit terdapat Semar, Gareng, Petruk, Bagoong atau wayang krucil Bancak, Do-yok, atau Sabdapalon, Nayagenggong. Punakawan dalam wayang thengul bisa dimunculkan dengan kreatifitas dalangnya namanya pun menyesuaikan dengan lakon yang digelar.

Untuk cerita Babad Majapahit ada punakawan yang dikenal dengan nama Nayagenggong dan Sabdapalon, untuk ceri-tera Panji dikenal puna-kawan Bancak dan Doyok. Dalam cerita babad atau cerita sejarah jarang me-nampilkan tokoh puna-kawan, kalau pun ada nama tokoh punakawan yang ditampilkan tergantung dari kreatifitas dan imajinasi dari dalang itu sendiri, sebagai selingan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *