Masyarakat Blora tentu masih mengingat geliat singkat Bandara Ngloram, yang sempat beroperasi kembali sejak 2021 setelah bertahun-tahun mati suri. Dulunya bandara ini adalah milik Pertamina dan hanya melayani operasional proyek migas di Blok Cepu, tetapi kemudian diambil alih Kementerian Perhubungan dan diubah menjadi bandara komersial. Sayangnya, gaung pembukaannya tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan. Penerbangan dari Jakarta ke Ngloram memang sempat ada, namun lebih banyak diisi penumpang ‘wajib', bukan penumpang yang benar-benar membutuhkan layanan udara.
Ironisnya, untuk mempertahankan operasional bandara, sempat diberlakukan kebijakan tidak masuk akal: para kepala desa (kades) dan ASN digilir untuk terbang ke Jakarta setiap Senin dan Jumat. Meskipun banyak dari mereka sebenarnya tidak memiliki keperluan dinas, mereka tetap “dipaksa” terbang, membebani APBD dan dana desa. Bahkan sempat terjadi insiden seorang kades membuka pintu darurat saat boarding, hingga penerbangan dibatalkan dan penumpang pulang dengan bus. Ini bukan saja mencoreng citra daerah, tapi juga menunjukkan betapa belum matangnya ekosistem bandara tersebut.
Kini, terdengar kabar bahwa Bandara Ngloram akan kembali diaktifkan, sesuai dengan arahan Gubernur Jawa Tengah. Namun sebelum gegabah melanjutkan rencana ini, Pemkab Blora semestinya melakukan evaluasi mendalam. Apa yang menyebabkan bandara tersebut sebelumnya sepi penumpang? Kenapa penerbangan tidak berkelanjutan? Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu, pengaktifan ulang hanya akan mengulangi kegagalan yang sama dan memboroskan anggaran publik.
Bandara pada dasarnya adalah alat, bukan tujuan. Ia ada untuk menghubungkan orang-orang dengan pusat kegiatan: bisnis, industri, pendidikan, atau pariwisata. Bila Blora belum memiliki salah satu dari magnet ini, maka tidak heran jika bandara pun sepi. Oleh karena itu, logika pembangunan perlu dibalik. Bukan bandara yang dihidupkan untuk menarik wisatawan dan investor, tetapi destinasi dan kawasan industrilah yang harus dibangun terlebih dahulu agar menciptakan kebutuhan terhadap layanan udara.
Blora sebenarnya memiliki potensi wisata dan budaya yang kaya, namun belum dikelola dan dipromosikan secara seri-us. Sebelum bicara tentang bandara, Pemkab Blora perlu menetapkan satu ikon wisata unggulan yang benar-benar bisa menarik kunjungan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Ini bisa berupa destinasi alam, budaya, atau warisan sejarah yang dikemas secara profesional. Jika pariwisata hidup, maka pergerakan manusia meningkat, dan transportasi udara akan menjadi kebutuhan, bukan paksaan.
Selain itu, rencana membangun kawasan industri di sekitar Cepu harus segera direalisasikan. Kawasan ini bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi Blora dan sekitarnya.
Singkatnya, menghidupkan kembali Bandara Ngloram perlu komitmen nyata dari seluruh stakeholder untuk menjadikan Blora sebagai daerah yang menarik untuk dikunjungi dan dijadikan tempat berusaha. Jika tidak, Bandara Ngloram hanya akan menjadi proyek kebanggaan sesaat yang kembali redup tanpa jejak. Ke depan, mari kita bangun alasan yang kuat kenapa orang harus datang ke Blora—bukan sekadar menyediakan landasan untuk mereka mendarat.
***