Tanah Wonorejo, Dulu Dikelola Perum Perhutani

.-

Dikutip dari resmi tanah berlangsung lama. Bermula dari warga menempati tanah yang merupakan kawasan hutan petak seluas 81,835 hektare. Tanah ini dikelola oleh Perusahaan Umum .
Pada tahun 1986 Blora mengajukan permohonan kepada Direksi Perum Perhutani unit 1 Jawa Tengah perihal tukar menukar tanah Perum Perhutani di Wonorejo- .
Permohonan ini pun disetujui, namun Pemerintah selaku pemohon dibebani biaya pengukuran, pemetaan, serta biaya lainnya sehubungan dengan proses tukar menukar tanah kawasan hutan tersebut. Dengan rasio tukar menukar minimal 1:1 atau satu tanah hutan berbanding satu tanah pengganti.
Dalam hal ini, Pemkab Blora tidak mampu membiayai kegiatan tukar menukar ini. Untuk menyelesaikan problem ini, akhirnya pemkab bekerja sama dengan investor pihak ketiga (Singgih Hartono, Waluyo, dan Suyanto). Pada tanggal 7 Oktober 1994 telah ditandatangani Surat Perjanjian Tukar Menukar antara Perum Perhutani dengan Pemerintah Kabupaten Blora nomor: 10/Perj.TM/1994.
Melalui pihak ketiga, pemkab Blora mendapatkan tanah pengganti seluas 81,4565 hektare yang terletak di Desa Ngapus Kecamatan , Desa Karangjong , Desa Kedungrejo dan Desa Kecamatan Blora sebagai Kawasan Hutan. Tanah pengganti ditetapkan seba-gai kawasan hutan produksi. Se-mentara tanah Wonorejo ditetapkan menjadi aset Pemkab Blora.
Tanggal 27 Juni 2000, Gubernur Jawa Tengah mengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri perihal pelepasan tanah di bawah penguasaan Pemkab Blora kepada masyarakat dengan pembayaran ganti rugi melalui surat Nomor: 593/12406.
Surat itu kemudian direspons Menteri Dalam Negeri melalui surat Direktur Jenderal Pemerintah Umum Nomor: 593.3/1061/PUMDA tanggal 24 Juli 2000. Dalam suratnya Mendagri kala itu menyampaikan kepada Gubernur Jawa Tengah bahwa pada prinsipnya setuju pelepasan tanah milik/di bawah penguasaan Pemerintah kabupaten Blora kepada masyarakat / penduduk dengan pembayaran ganti rugi.
Ganti rugi itu dibagi dalam empat kelas. Harga terendah yaitu kelas 4 dengan harga sebesar Rp 2.000 per meter dan kelas 1 dengan harga tertinggi sebesar Rp 40.000 per meter. Namun, proses ganti rugi ini tidak berjalan mulus karena ada ketidak-cocokan harga ganti rugi.
Kala itu, warga hanya mau membeli kelas 1 dengan harga tertinggi sebesar Rp 6.000 per meter. Walhasil proses ini tidak bisa dilaksanakan.
Tahun berganti tahun, rapat dan koordinasi dari Pemkab Blora maupun Provinsi Jateng dan Pemerintah Pusat digelar untuk menyelesaikan sengketa tanah Wonorejo ini.
Baru-baru ini Pemkab Blora bersama Kantor Wilayah ATR Jawa Tengah telah membentuk Tim Kajian Hukum untuk percepatan penyelesaian sengketa. Warga pun segera berproses untuk mendapat HGB. (*)

Baca Juga:  Setelah Mendapat Sertifikat HGB dari Presiden Jokowi, Warga Wonorejo Ramai-ramai Akan Jual Tanahnya