Beda OPD..?

RAMAI di jagat maya , debat kusir antara warga masyarakat dengan wakil rakyatnya. Tema perdebatan masih seputar anggota dewan yang bisa dikategorikan tidak wajar. Dalam satu tahun seorang anggota ada yang mendapatkan hingga Rp 500 juta dari kegiatan narasumber. Tak ayal pada Tahun 2021 itu, Perangkat Daerah () Sekretariat mengeluarkan hampir Rp 11 milyar.

Di kabupaten lain kegiatan narasumber juga ada tapi kontroversinya nyaris tak terdengar, karena honor yang diberikan kepada anggota dewan masih dalam batas wajar. Contohnya di Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) yang pada tahun ini -nya menembus Rp. 7,4 Triliun, rerata pendapatan anggota dewan dari honor nara-sumber tak lebih dari Rp 20 juta dalam satu tahun.
Ketidak-wajaran dalam penggunaan uang negara yang bisa dikategorikan pemborosan uang rakyat ini akhirnya dilaporkan ke Tinggi (Kejati) Jawa Tengah pada Januari 2022, dan yang terbaru pada minggu kemarin ini juga dilaporkan ke Komisi () di .
Dalam sebuah grup WhatsApp (WA) yang di dalamnya terdapat diri pelapor dan sebagian terlapor terjadi debat keras hingga keluar kata dan kalimat yang tak santun didengar oleh publik. Hingga, kalimat saling ancampun tak terhindarkan.
Yang menarik dalam perdebatan ini, antara pelapor dan terlapor sepakat menggunakan aturan main yang sama yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar harga satuan regional honorarium, dan bahkan kedua pihak juga memahami betul bahwa honorarium narasumber yang berasal dari satu OPD besarannya Rp 1 juta / jam.
Namun, kedua pihak ada beda persepsi dalam menterjemahkan salah satu pasal dalam Perpres tersebut. Menurut pelapor ada pasal yang menyebut, bila narasumber berasal dari luar OPD diberikan 100 persen sementara narasumber berasal dari satu OPD hanya mendapatkan 50 persen. Maka harusnya yang boleh diterima oleh anggota dewan adalah separoh dari ketentuan yaitu Rp 500 ribu per jam, dan bukan Rp 1 juta per jam.
Sementara pihak terlapor meyakini dirinya tidak salah, karena anggota dewan itu tidak satu OPD dengan Sekretariat DPRD, karenanya mereka berhak menerima honor 100 persen yaitu Rp 1 juta per jam.
Benarkah anggota DPRD tidak satu OPD dengan Sekretariat DPRD? Yang ini nantinya perlu mendengarkan keterangan saksi ahli di Pengadilan.
Bila terbukti DPRD adalah bagian yang terpisahkan dari Sekretariat DPRD maka konsekwensinya para wakil rakyat wajib mengembalikan separoh dari penghasilan honorarium yang pernah diterimanya. Bisa lebih 5 miliar nantinya uang kembalian yang harus disetor ke Kas Daerah.
Tidak cukup itu, dengan terbuktinya penyimpangan anggaran di salah satu OPD di Blora ini maka Badan Pemeriksa Keuangan () RI harus membatalkan predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang pernah diberikan kepada pada Tahun 2021. Penghargaan kala itu disampaikan langsung oleh Ketua BPK RI Perwakilan Jawa Tengah kepada Bupati Blora dan Ketua DPRD Blora secara luring pada tanggal 27 April 2022 di Gedung BPK RI Perwakilan Jateng, . Yang pada waktu itu ditandai dengan penyerahan dokumen hasil pemeriksaan dan penandatanganan berita acara.
***

Baca Juga:  OPD di Blora Mengaku Dapat Titipan Anggaran Narasumber, PKN Ancam Akan Lapor ke BPK