Sumur Rakyat

Oleh: Kang Abas

FAKTOR keamanan dalam kegiatan telah lama menjadi prioritas utama dalam standar industri energi dunia. Hal ini bukan hanya menjadi prinsip , tetapi juga merupakan konsensus internasional yang diadopsi ke dalam regulasi nasional, termasuk di Indonesia. Risiko tinggi dalam sektor energi—seperti , ledakan, atau pencemaran lingkungan—menjadikan aspek sebagai pijakan utama dalam setiap kebijakan energi yang bertanggung jawab.
Di sektor dan gas (), Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral () menunjuk PT sebagai kontraktor utama pelaksana kegiatan hulu. Pertamina, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sekaligus perusahaan migas profesional kelas dunia, menjadi ujung tombak pengelolaan sumber daya migas nasional. Namun, untuk lapangan-lapangan tua, pemerintah juga membuka peluang bagi kontraktor migas swasta melalui skema Kerja Sama (KSO). Sementara itu, pengusahaan bisa dilakukan oleh masyarakat di bawah naungan BUMD atau koperasi (KUD), dengan ketentuan ketat sebagaimana diatur dalam Peraturan Tahun 2008.
Sayangnya, di beberapa daerah seperti , dalam beberapa tahun terakhir muncul kegiatan pengeboran dan pengelolaan minyak oleh warga di lokasi-lokasi yang tidak termasuk dalam blok migas resmi atau peta perminyakan nasional. Fenomena ini terjadi di dan Desa Gandu, di mana masyarakat secara mandiri melakukan kegiatan eksplorasi minyak tanpa legalitas dan tanpa pemahaman memadai tentang prosedur kerja yang aman di . Meski dimotivasi oleh kebutuhan , kegiatan ini berlangsung di area yang dekat dengan permukiman penduduk dan tanpa pengawasan teknis yang layak.
Alih-alih memperkuat regulasi dan pengawasan, Menteri ESDM justru mengambil kebijakan kontroversial dengan menerbitkan izin baru untuk kegiatan semacam itu. Dengan dalih menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan ekonomi rakyat, Menteri memasukkan kegiatan masyarakat di luar blok resmi tersebut ke dalam kategori . Ini berarti kegiatan tersebut dilegalkan meskipun tidak sesuai dengan definisi sumur tua dalam Permen ESDM 2008.

Akibat kebijakan yang longgar ini, sejumlah fatal pun terjadi. Pada April 2024, kebakaran melanda penampungan minyak mentah ilegal di Desa Plantungan. Disusul kemudian pada Agustus 2025, kebakaran di sumur gas milik warga di Dusun Gendono, Desa Gandu, merenggut empat nyawa. Dua ini menjadi bukti nyata dari lemahnya penerapan prinsip keselamatan dalam kegiatan migas rakyat yang tidak diawasi dan tidak memenuhi standar minimum keamanan industri.
Mirisnya, usaha di sektor sumur rakyat tidak diwajibkan berbentuk badan usaha migas bersertifikasi seperti halnya kontraktor migas atau BUMD. Cukup berstatus , tanpa tuntutan modal, peralatan, atau sumber daya manusia yang tersertifikasi. Ini menciptakan celah besar dalam pengelolaan energi yang berpotensi merugikan masyarakat itu sendiri, baik dari sisi keselamatan maupun dampak lingkungan jangka panjang.
Mengingat latar belakang Menteri Bahlil yang tidak berasal dari dunia teknik atau sektor energi profesional, keputusan untuk mengesahkan sumur rakyat sebagai bagian legal dari industri migas patut dikaji ulang secara serius. Keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi romantisme pemberdayaan ekonomi rakyat. Legalitas harus diiringi oleh kepatuhan terhadap prinsip dasar industri migas: keamanan, keselamatan, dan keberlanjutan. Jika tidak segera dievaluasi, kebijakan ini bisa menjadi preseden buruk yang justru mendorong masyarakat untuk semakin nekat, dan berisiko kehilangan lebih banyak nyawa. (*)