Korandiva – BLORA.-Paguyuban Setya Rukun Blora menyelenggarakan pertemuan rutin di kediaman salah satu mantan pejabat, Suwito di Kelurahan Jetis, Kecamatan/Kabupaten Blora, Selasa (13/5/2025).
Ketua paguyuban Setya Rukun, H. Poerwadi M.Pd. dalam sambutannya mengatakan, bahwa pertemuan mantan pejabat Blora tersebut bertujuan meningkatkan silaturahmi dan kebugaran bagi kelompok rentan (keren).
“Puji syukur bahwa kita semua sampai saat ini selalu dalam lindunganNya, sehat walafiat dan masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup guna bersilaturahmi untuk penyegaran nurani,” kata H. Poerwadi dalam sambutannya.
Mantan Kepala SMP dan dosen itu menambahkan pertemuan rutin semacam ini juga merupakan sebagai bentuk ibadah dan rekreasi batin yang berdampak positif bagi kehidupan kita.
“Karena bisa curhat masa lalu dan persoalan terkini, gojegan dan senda gurau serta masih dapat memperoleh tambahan informasi yang berguna bagi kesehatan,” kata Poerwadi.
Ia juga mengimbau agar para anggota paguyuban Setyo Rukun, semuanya, selalu menjaga kebugaran jasmani dengan berolahraga sesuai kemampuannya.
Dalam kesempatan itu Suwito (87 tahun), mantan pejuang di bidang pendidikan yang punya predikat sebagai veteran menyampaikan uneg-uneg, ternyata silaturahmi yang dikemas melalui pertemuan rutin mampu memberikan motivasi dan inspirasi bagi dirinya.
“Itu karena bisa bertemu dan bercengkerama dengan sahabat lama dan mengingatkan kembali kenangan manis saat masih aktif bekerja serta mengabdi kepada ibu pertiwi,” kenangannya.
Selanjutnya, Ir. H. Bambang Sulistya,M.MA., selaku penasehat Paguyuban Setyo Rukun mencoba berbagi informasi tentang merebaknya fenomena baru yang sudah menyebar luas di masyarakat.
Menurut mantan Sekda Blora itu, fenomena ini ibaratnya penyakit, ini lebih berbahaya dari penyakit Covid-19. Karena bisa menimbulkan gonjang-ganjing runtuhnya kerukunan umat dan disintegrasi bangsa.
Gejalanya ditandai oleh perilaku sebagian anggota masyarakat yang bersikap arogan, sombong, merendahkan orang lain, menghalalkan segala cara, membabi buta dan suka menebar fitnah serta hobinya marah-marah.
“Saya menyebutnya, penyakit “DFK” sebuah akronim yang dampaknya harus diwaspadai dan dieliminir,” tandasnya.
Makna DFK adalah sebagai berikut :
D : Disinformasi dari berbagai berita yang tersebar di masyarakat. Karena sebagian isinya tidak sesuai dengan fakta atau realita yang ada.
Cenderung direkayasa, dimanipulasi dan diputarbalikkan berdasarkan kepentinganya. Sehingga dapat menciptakan keresahan, ketakutan dan situasi yang kurang kondusif serta dapat memecah belah kerukunan umat.
F : Fitnah layaknya sudah menjadi budaya baru di masyarakat.
“Sehingga muncul anekdot, fitnah itu lebih nyata dari pada kenyataan,” tegasnya.
Ia menduga yang terjadi sebagian anggota masyarakat saat ini suka menebar fitnah dalam memenangkan sebuah kompetisi kehidupan.
K : Kemarahan sudah menjadi tren baru dan merebak di segenap lapisan masyarakat.
Bahkan sudah tidak ada rasa malu orang menebar kemarahan di ruang publik.
“Namun ada ungkapan orang yang lekas marah menimbulkan kegaduhan dan pertengkaran tetapi siapa yang sabar akan meredakan pertengkaran dan menciptakan kedamaian,” terangnya.
Oleh karena itu untuk menghadapi fenomena DFK diharapkan kita harus tetap hati-hati dan waspada serta harus berakal sehat.
“Ingat pitutur bijak dari jawa, sak bejo bejane wong urip isih bejo sing eling karo sing gawe urip. Sebagai umat muslim mari kita amalkan Surat Ali Imran ayat 134 dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat,” tuturnya. (*)