Diduga Puluhan Hektar Sawah Gagal Panen, Petani Blora Desak Pendampingan Serius dari Dinas Pertanian

Korandiva – .- Musim tanam ketiga tahun ini yang seharusnya membawa harapan panen bagi justru berubah menjadi mimpi buruk. Puluhan hektar sawah di wilayah Kecamatan , , dan mengalami .

Salah satu petani, Imam Kushaini dari , Dukuh Boto, , , menyampaikan bahwa kegagalan panen ini disebabkan oleh tingkat keasaman tanah (pH) yang sangat rendah, yakni di angka 3,5, jauh dari ideal untuk pertumbuhan padi yang berada di kisaran pH 6,5–7.

Imam menuturkan bahwa meskipun irigasi perpompaan dari aliran menjamin ketersediaan air, para petani tetap mengalami kerugian besar akibat kondisi tanah yang terlalu asam.

Kerugian semakin terasa karena modal yang dikeluarkan untuk satu kali tanam bisa mencapai lebih dari Rp9 juta per hektar.

“Air cukup, tapi tanah terlalu asam. Kami duga tanaman kami terserang penyakit seperti santomonas. Beberapa petani yang mencoba menggunakan dolomit atau bahkan garam untuk memperbaiki pH tanah menunjukkan hasil yang lebih baik, meskipun banyak juga yang tetap gagal karena dosis dan cara penerapan yang tidak diketahui secara pasti,” ungkap Imam.

Ia juga menyoroti minimnya peran penyuluh dalam memberikan pendampingan kepada petani secara preventif dan edukatif.

“Kami jarang sekali mendapatkan penyuluhan sebelum musim tanam dimulai. Penyuluh sering datang saat masalah sudah terjadi. Kami butuh bimbingan sebelum, saat, dan sesudah . Jangan hanya muncul ketika sudah gagal panen,” tegasnya.

Imam juga menyerukan agar Dinas Pangan, Peternakan, Pertanian, dan Perikanan (DP4) segera melakukan verifikasi faktual di lapangan untuk mengetahui seberapa luas lahan yang terdampak gagal panen akibat masalah keasaman tanah ini. Ia berharap ada langkah nyata dari DP4 dan penyuluh pertanian untuk memberikan solusi berbasis ilmu dan teknologi, bukan sekadar tindakan reaktif.

“Penyuluh pertanian digaji oleh rakyat, kami harap mereka bekerja untuk mencerdaskan petani. Jangan biarkan kami terus-menerus merugi karena ketidaktahuan yang bisa dicegah,” tutupnya.

Kondisi ini menjadi sinyal keras bagi pemerintah daerah untuk memperkuat sistem penyuluhan pertanian, memperbaiki pengelolaan tanah, dan memberikan dukungan teknologi serta informasi yang tepat kepada petani agar kejadian serupa tidak terus berulang. (*)