KEPUTUSAN Kejaksaan Negeri Blora yang hanya memberikan sanksi mutasi tugas terhadap jaksa Rezmi Angga Aprianto–yang terbukti positif menggunakan narkoba menimbulkan keprihatinan dan kontroversi. Sebagai seorang aparat penegak hukum, Angga seharusnya memberikan teladan yang baik bagi masyarakat. Namun, kenyataannya ia malah melanggar hukum yang seharusnya ditegakkannya. Mutasi tugas ke Nusa Tenggara Timur sebagai “hukuman” menggambarkan ketidakseriusan dalam menangani kasus penyalahgunaan narkoba, apalagi yang melibatkan seorang jaksa yang seharusnya menjadi pelindung hukum.
Indonesia memiliki peraturan yang sangat ketat mengenai penyalahgunaan narkoba, dengan ancaman hukuman berat bagi para pelaku, baik itu pengedar maupun pemakai. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi yang jelas terhadap pengguna narkoba. Namun, keputusan ringan yang diberikan kepada Rezmi Angga menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara aturan yang ada dengan praktik penegakan hukum yang berlaku. Hal ini membuka pertanyaan besar mengenai konsistensi dan integritas sistem hukum di Indonesia.
Angga sebagai seorang jaksa seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam hal kedisiplinan dan ketaatan pada hukum. Namun, bukannya menjadi teladan, dia malah melanggar hukum yang seharusnya dia tegakkan. Tindakannya yang menggunakan narkoba jelas bertentangan dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan yang diambilnya saat menjadi aparat penegak hukum. Dengan demikian, sanksi ringan yang diberikan terhadap Angga hanya akan merusak citra institusi kejaksaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
Selain melanggar Undang-Undang Narkotika, Angga juga terbukti menabrak Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1947 tentang Sumpah Jabatan untuk Hakim, Jaksa, dan Panitera. Dalam peraturan tersebut, setiap jaksa diharapkan untuk menjaga kehormatan, integritas, dan etika profesi. Penggunaan narkoba jelas merupakan pelanggaran yang merusak martabat profesi seorang jaksa. Oleh karena itu, dengan hanya memberikan mutasi tugas tanpa sanksi lain yang lebih berat menunjukkan adanya ketidakseriusan dalam menegakkan aturan dan menjaga integritas aparatur negara.
Tindakan Kejaksaan Negeri Blora yang hanya memberikan mutasi tugas sebagai hukuman juga menunjukkan adanya ketimpangan perlakuan hukum antara aparat penegak hukum dan masyarakat biasa. Sebagai warga negara, Rezmi Angga seharusnya diperlakukan sama di hadapan hukum. Jika masyarakat umum yang terjerat kasus narkoba dapat dikenakan hukuman yang berat, maka seorang jaksa yang terbukti positif menggunakan narkoba juga seharusnya mendapatkan sanksi yang setimpal, bukan sekadar mutasi tugas.
Dengan tidak diterapkannya sanksi hukum yang tegas terhadap Rezmi Angga, muncul kesan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia kebal hukum. Hal ini dapat merusak keper-cayaan publik terhadap sistem hukum yang ada.
Oleh karena itu, sangat penting bagi institusi hukum untuk menunjukkan ketegasan dalam menegakkan hukum, tanpa memandang jabatan atau status sosial seseorang. Agar sistem hukum di Indonesia tetap dipercaya dan dihormati, tindakan tegas harus diambil terhadap setiap pelanggaran hukum, termasuk yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri. (*)