KEPALA desa di Blora benar-benar sedang menjadi bintang. Beberapa bulan terakhir namanya terus mewarnai hampir semua halaman media, baik surat kabar cetak, portal on line, hingga televisi digital. Tema hangat yang selalu menarik nama kades ke halaman media adalah kasus seleksi perades.
Dari puluhan kasus perades yang dilaporkan ke polisi, kejaksaan, ombusdman, hingga KPK serta BSSN, semua barang bukti dan alat buktinya menyeret jabatan kepala desa.
Seperti halnya kasus perades yang sekarang sudah memasuki babak peradilan di Pengadilan Negeri Blora, dua orang kepala desa (Kades Beganjing dan Kades Nginggil) seminggu sekali harus menempuh jarak puluhan kilo meter hanya untuk duduk di kursi terdakwa. Tetapi mondar-mandir dari rumah ke pengadilan itu nikmatnya bak menu makanan di Resto Boga Bugi, jika dibanding harus nginap di rumah tahanan.
Dengan mengambil peran sebagai fungsi kontrol sosial, hampir semua media di luar pagar pendopo mengawal proses hukum yang digelar di PN Blora. Mereka menyoroti keengganan aparat penegak hukum (APH) untuk menahan atau menghukum para pelaku kejahatan yang sedang diadili.
Dimulai dari pemilihan Pasal 263 ayat 1 yang diterapkan dalam kasus pemalsuan SK dengan terdakwa dua orang Kades. Ada dugaan APH ingin meloloskan pengguna SK palsu yang sekarang sudah dilantik menjadi perangkat desa.
Kenapa penyidik tidak menerapkan ayat 2-nya sekaligus? Pasal 263 KUHP ayat 2 berbunyi “Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian”.
Proses hukum yang juga menjadi sorotan adalah dibiarkannya para terdakwa dengan ancaman hukuman 6 tahun menjalani proses peradilan tanpa didampingi penasihat hukum. Padahal sesuai Pasal 56 KUHP, tersangka tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun atau lebih maka dalam pemeriksaannya “wajib” didampingi Penasihat Hukum.
Dalam pasal itu juga ditegaskan, jika terdakwa dengan ancaman 5 tahun atau lebih tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan “wajib” menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Di Bumi Samin, kata “wajib” ternyata bisa berubah menjadi “hak”. Seperti pernyataan seorang APH di tingkat penyidik, bahwa menahan atau tidak menahan itu adalah “hak” dan kewenangan aparat. Bisa jadi dalam peradilan 2 orang Kades, didampingi penasihat hukum atau tidak, itu “hak” seorang hakim untuk tetap menjalankan persidangan.
Semoga keputusan hakim tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan juga tidak memberikan “peluang” bagi para terdakwa untuk bisa lolos dari jerat hukum, akibat “hak” nya untuk mendapatkan penasihat hukum dari PN tidak mereka dapatkan.
Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga hukum, kita berharap masih ada Hakim yang memiliki nurani, untuk mengambil keputusan hukum yang adil.(*)