BLORA.-
Tidak dilakukannya penahanan terhadap para terdakwa kasus perangkat desa, mulai dari proses penyidikan di kepolisian, kejaksaan, hingga proses peradilan di Pengadilan Negeri Blora, mendapat sorotan dari praktisi hukum Yogyakarta, Doktor Budiyono, SH, MH.
Budiyono yang datang ke Blora untuk memenuhi undangan Forum Pemred Media Blora dalam acara podcast bedah kasus hukum seleksi Perades di Blora, Selasa (19/07/2022) mengatakan, proses peradilan kasus Perades di Blora sangat dipengaruhi moralitas aparat penegak hukum (APH).
Dia mengatakan kewenangan untuk menahan atau tidak, tersangka (terdakwa-red) menjadi kewenangan penyidik. Baik penyidik dari Kepolisian maupun Penuntut Umum dari Kejaksaan dan Hakim.
“Karena itu hak prerogatif dari aparat penegak hukum. Namun juga perlu diperhatikan azas moralitas hukumnya”, tandas Budiyono.
Memang, tujuan penahanan adalah agar tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, maupun mengulangi perbuatannya. Tetapi itu tergantung dari moralitas APHnya.
Terkait moralitas APH, Budiyono menyitir pesan Profesor Satjipto Rahardjo, Guru Besar dan Pakar Hukum Undip yang menjadi Pembimbing S2, yang mengatakan, “Berikan saya 100 APH yang baik, untuk melaksanakan UU yang buruk, maka penegakan hukum akan menjadi baik. Demikian sebaliknya UU yang baik tidak akan berjalan baik, kalau aparat penegak hukumnya buruk,” ujar Budiyono.
Sementara itu Seno Margo Utomo selaku juru bicara PKN mengaku sudah melaporkan pelangaran proses Perades itu ke APH (Aparat Penegak Hukum) Polres Blora, Kejaksaan, bahkan juga sampai ke KPK. Hanya respon dari APH untuk menindaklanjuti laporan itu lambat.
“Laporan pertama bulan Februari, sampai sekarang baru dua kasus yang naik sampai persidangan. Sehingga ada kesan kasus ini memang diperlambat penanganannya,” terang Seno. (*)