DEBAT panjang di media, antar orang yang terlibat dalam proses seleksi perekrutan perangkat desa (Perades) di Kabupaten Blora sedikit mulai membuka tabir, praktik jual beli jabatan maupun misteri kecurangannya pun terungkap.
Seperti pernyataan Ketua Partai Perindo Kabupaten Blora, Bambang Anto Wibowo, bahwa dirinya memang pernah ikut andil dalam menghubungkan panitia seleksi dengan salah satu perguruan tinggi. Dan menurutnya, hal itu sah-sah saja karena sejak awal proses seleksi Perades adalah pasar bebas–sebelum diambil alih Dinas PMD Blora.
Diperkuat pernyataan Ketua Komisi A, Supardi bahwa terkait seleksi Perades, DPRD Blora memang yang membuatkan Perda-nya, dan Eksekutif yang membuatkan Perbup-nya. Walaupun pelaksanaan secara serentak tidak diamanatkan oleh Perda, namun Supardi tidak memungkiri bahwa pelaksana perekrutan Perades di Blora dilakukan oleh Pemkab.
Hal itu juga diamini oleh Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Blora, Irfan Agustian Iswandaru, bahwa pelaksana kegiatan seleksi dan rekrutmen Perades adalah Pemkab. Dan, dia adalah ketuanya. Walaupun itu marwahnya kepala desa, alasan Pemkab Blora mengambil alih pelaksanaan rekrutmen perangkat desa, menurut Irfan adalah lebih baik. Karena pada penyelenggaraan rekrutmen perades sebelumnya yang tanpa CAT juga menyisahkan persoalan.
Ibarat mengurai benang kusut, mendengar pengakuan Bambang, Supardi, dan Irfan, polemik rekrutmen Perades Kabupaten Blora sudah mulai ditemukan ujungnya. Dari pengakuan-pengakuan itu mulai terungkap, bahwa semua kebijakan dalam seleksi Perades selama ini adalah Pemkab Blora. Mulai dari cara penetapan nilai bobot calon perangkat desa, memutuskan harus menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT), hingga memilih kampus tem-pat dilaksanakannya CAT.
Bisa jadi, keputusan melantik Kasun di Desa Talok (Ngawen) yang dalam CAT rangking 3 — lalu tiba-tiba memberhentikannya tanpa alasan, dan sekarang mau melantik Kasun yang dalam CAT ada di rangking 1, tak lepas dari campur tangan Pemkab Blora. Keberadaan oknum berpredikat “koordinator kabupaten”, menurut Supardi maupun Irfan mereka tau dan mendengar, tapi keduanya dengan tegas menyatakan bahwa status “koordinator kabupaten” itu adalah Ilegal.
Terkait hal itu, menurut Pemkab dan DPRD sudah ada aparat penegak hukum (APH) yang menangani. Jika dalam kasus administrasi akan dimohonkan fatwa dari PTUN, dan jika ada sentuhan pidana silahkan APH turun tangan. Sekarang ini ada 2 Kades dan 2 perangkat desa yang sedang menjalani proses peradilan terkait kasus Perades di PN Blora, sementara masih ada 30 laporan di Polres dan 15 aduan di Kejaksaan Negeri Blora yang belum diproses.
Namun baik Pemkab maupun DPRD sepertinya sudah tidak mau ambil pusing, karena menurutnya proses rekrutmen Perades Blora sudah dianggap final setelah mereka dilantik oleh Kades masing-masing. Seperti halnya sikap Pemkab dan DPRD terhadap warganya yang menuntut keadilan hingga ke Jakarta, mereka enggan mendampingi perjuangan masyarakat dan lebih membiarkan rakyatnya berjuang sendiri.