PENEGAKAN hukum harus dilakukan oleh semua pihak, dan aparat penegak hukum (APH) harus memberikan contoh yang baik. Jangan sampai mereka mencederai hukum itu sendiri. APH diharapkan berperilaku terpuji. Harapan itu seharusnya dapat dipenuhi karena tugas penting APH adalah menjadi contoh. Polisi, jaksa, dan hakim diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat dalam hal penegakan hukum.
Dalam kasus pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh kepala desa dan perangkatnya terkait seleksi Perades, APH di Blora telah memberikan contoh buruk dengan mengabulkan permohonan para tersangka untuk bisa menikmati fasilitas tahanan rumah dengan segala alasannya. Dikhawatirkan, yang begini ini akan menjadi preseden, menjadi permulaan untuk ditiru dan dicontoh oleh para putra hukum lainya nanti.
Pemalsuan dokumen itu juga pelanggaran hukum dan perbuatan jahat karena ada pihak lain yang dirugikan. Tetapi dalam kasus Perades, APH di Blora cenderung melindungi dan bahkan ingin membebaskan para pelakunya dari jerat hukum. Tuntutan jaksa yang relatif rendah dari ancaman hukumannya, seolah memberi peluang besar kepada hakim untuk berani menjatuhkan vonis bebas.
Bila hal itu sampai terjadi, maka jangan heran jika nantinya banyak masyarakat, perangkat, dan bahkan pejabat yang lebih berani lagi untuk melakukan pemalsuan dokumen. Dan hal itu sudah terjadi, pekan lalu ada seorang aparat sipil negara (ASN) mendatangi Polres Blora untuk melaporkan seorang aktivis anti korupsi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Melihat kronologisnya hal itu sah-sah saja, karena sang pelapor merasa dirugikan dengan pernyataan terlapor dalam sebuah media massa. Tapi anehnya, pelapor yang masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Blora dengan jabatan Kepala Bidang itu dalam laporan ke polisi malah memalsukan identitasnya.
Di dalam blangko surat pengaduan polisi, pejabat bernama Dwi Edy Setyawan itu pada kolom pekerjaan disebutkan sebagai “wiraswasta”, bukan ASN atau PNS. Masak ada seorang wiraswasta mengadukan aktivis anti korupsi? Dan, yang masih menjadi tanda tanya, apakah petugas di Polres Blora juga tidak minta kepada yang bersangkutan untuk menunjukkan kartu identitasnya.
Pemalsuan identitas Pekerjaan memiliki sanksi tak ubahnya memalsukan status Perkawinan: Menikah/Belum Menikah. Dan, dalam pasal 378 KUHP pemalsuan identitas bisa dikenakan hukuman maksimal 4 tahun penjara.
Yang bersangkutan dalam melapor atau mengadu selaku Kepala Bidang Pemerintahan Desa tentunya sudah melalui persetujuan kepala dinas PMD, dan sebagai ASN Blora yang bersangkutan juga sudah mendapatkan restu dari bupati. Kalo sudah prosedural seperti itu, kenapa masih harus memalsukan identitas pekerjaannya?
Semoga saja yang bersangkutan tidak berprinsip, bahwa tindakan pemalsuan identitas atau pemalsuan dokumen adalah hal yang sudah biasa dan tidak memiliki konsekwensi hukum, toh pelakunya bisa bebas dari jerat hukum seperti dalam kasus pemalsuan SK yang sekarang disidangkan di PN Blora. ***