BLORA.-
“Kasus Ledok” yang berusaha ditutup-tutupi oleh Dirut PT. BPE hingga mau bayar 50 juta untuk berdamai dengan kelompok wartawan diduga terkait pungutan yang dilakukan oleh paguyuban atau perkumpulan penambang minyak setempat. Pungutan yang dilakukan oleh Perkumpulan Penambang Minyak Sumur Timba Ledok (PPMSTL) terhadap para penambang ini besarannya lebih setengah miliar per bulan. Dan, sebagian hasil pungutan ini diduga juga rutin mengalir kepada penguasa dan sejumlah pejabat di Blora.
Ketua Pemantau Keuangan Negara (PKN) Blora, Sukisman mengatakan, bahwa ratusan penambang di Desa Ledok terikat kerjasama dengan PT. BPE selaku pemegang izin pengusahaan sumur tua di Kabupaten Blora. Sebagai kompensasi, hasil setoran minyak dari penambang ke Pertamina dipotong 23 persen oleh PT. BPE. “Dari jumlah potongan tersebut, yang 5,7 persen menjadi pendapatan asli daerah (PAD) Blora, sementara sisahnya yang 17,3 diberikan kepada perkumpulan,” ujar Suksiman.
Di kawasan Ledok ada 196 sumur tua, namun yang masih bisa diproduksi atau mengeluarkan minyak tersisa 125 sumur. Dari jumlah itu, total minyak mentah yang disetor oleh penambang Ledok ke Pertamina berkisar 800 ribu liter per bulan.
Jika per liter minyak mentah dihargai Rp 4 ribu, maka Pertamina menyetor ke rekening BPE sebesar Rp 3,2 miliar setiap bulannya. Dari nilai tersebut, yang 77 persen dibayarkan kepada penambang (Rp 2,464 M), dan 17,3 persen diberikan ke perkumpulan (Rp 553,600.000). “PAD Blora hanya mendapat 5,7 persen atau Rp 182.400.000.” papar Kisman.
Menurut Sukisman, potongan sebesar 23 persen yang diterapkan oleh BUMD Blora ini ternyata memberatkan penambang dan investor sumur tua di Blora. Sama-sama memiliki usaha sumur tua, BUMD Grobogan hanya memungut 7 persen, sementara BUMD Rembang juga hanya memungut 6 persen, tanpa ada pungutan lain termasuk oleh perkumpulan. “BUMD Bojonegoro memungut 10 persen, tapi yang 4 persen diberikan kepada pemerintahan desa dan kecamatan,” tandasnya.
Sekarang ini Blora masih memiliki ratusan sumur tua di wilayah Ledok dan Semanggi yang belum dioperasikan. Investor tidak berani masuk Blora karena potongan dari BPE dan paguyuban yang 23 persen itu dianggap memberatkan. Di Bojonegoro, penambang bisa bekerjasama langsung dengan BUMD setempat tanpa melalui paguyuban atau perkumpulan.
Melihat kondisi seperti itu, Sukisman menyarankan kepada Pemkab Blora segera mengevaluasi keberadaan paguyuban atau perkumpulan yang menurutnya tidak memiliki landasan hukum. “Keberadaan perkumpulan penambang selama ini hanya dijadikan kepanjangan tangan penguasa dan sejumlah pejabat untuk melakukan pungutan,” tandas ketua PKN itu.
“Karena sudah terbukti menghambat masuknya investor ke Blora, sebaiknya perkumpulan penambang yang ada segera dibubarkan saja,” tukas Sukisman. (*)