Bambang Sulistya: Esuk Dele Sore Tempe

.-

Karena mengandung protein lengkap, kedelai yang memiliki predikat keren sebagai Gold from Soil sedang menjadi bahan perbincangan hangat di masyarakat, baik oleh para konsumen, pemangku kepentingan maupun para tahu dan tempe.

“Harga kedelai di domestik melambung tinggi seiring dengan harga kedelai di pasar global juga melonjak,” kata pemerhati Blora yang juga mantan Sekda dan Kadinas Pertanian Blora, Jumat (11/03/2022).

Apalagi ditambah muncul adanya perang Rusia dengan Ukrania semakin lengkap gojang ganjing harga kedelai di pasaran.

Belum ditambah fakta yang ada kebutuhan kedelai dalam Negeri sangat tergantung kedelai impor. Per tahun Indonesia mengimpor lebih dari 2 juta ton kedelai.

“Dari jumlah itu sekitar 80 persennya digunakan untuk bahan baku tahu dan tempe,” ujarnya.

Hal itu dengan kepopuleran tahu dan tempe sebagai salah satu makan istimewa bagi Bangsa Indonesia.

Terutama tempe memiliki keunggulan kaya akan nutrisi yang mengandung vitamin, protein, karbohidratat dan mineral penting bagi tubuh.

Baca Juga:  Wredatama Blora Antusias Praktik Pembuatan Eco Enzym

Bahkan tempe juga memiliki berbagai manfaat di antaranya, cocok untuk diet karena rendah kalori,mencegah penyakit diabetes, kanker dan jantung, menjaga kesehatan pencernaan, menurunkan kolesterol dan berperan untuk penyembuhan luka.

“Melihat kenyataan tersebut sangat ironis di negeri agraris kalau bahan baku kedelai harus dipasok dari negara lain,” ungkapnya.

Konsumsi kedelai rakyat berdasarkan catatan dari dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pada tahun 2010 sudah mencapai kisaran 8,53 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2020 konsumsi kedelai bisa lebih dari 10 kg/kapita/tahun.

Jumlah konsumsi yang terus meningkat di tengah produksi kedelai nasional yang terus menurun akhirnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri langkah yang paling cepat dan gampang adalah pemerintah harus mengimpor.

Harga kedelai yang melonjak memang memunculkan masalah yang sangat berarti di negeri yang kita cintai ini.

Melonjaknya harga kedelai tersebut ada yang mengkaitkan dengan situasi saat ini dengan munculnya berbagai kebijakan yang menimbulkan keresahaan, kepanikan, ketakutan dan gejolak di masyarakat.

Baca Juga:  Sambut Seleksi Calon Sekolah Adiwiyata Propinsi 2021, DLH dan Disdik Blora Bina SMP 2 Jiken Berbudaya Lingkungan

Karena ada ungkapan “Esuk Dele Sore Tempe (pagi dele sore berubah jadi tempe)”. Pitutur ini sebuah ungkapan yang dimaksudkan sebagau sindiran terhadap sikap inkonsistensi atau plin-plan atau mencla-mencle terhadap suatu ucapan,pendirian atau kebijakan.

“Mengapa ungkapan itu diketengahkan para sesepuh atau leluhur kita dulu. Karena sikap ucapan, perbuatan atau kebijakan yang dilakukan oleh akan memberi implikasi pada orang banyak,” ujar Bambang Sulistya.

Demikian pula naiknya harga kedelai akan berdampak pada usaha yang bersandar pada bahan baku kedelai. Mulai dari produsen tahu tempe dan usaha mikro dan kecil seperti pembuat jajanan.

“Hasil monitor saya di lapangan ada para produsen tahu dan tempe dalam mensikapi supaya tak menimbulkan gejolak hanya merubah volume tahu atau tempe dengan ukuran yang lebih kecil tapi harga penjualan tidak dinaikan, namun bagi penjual gorengan tahu tempe terpaksa harga dinaikan karena ada gejolak harga goreng di lapangan,” ungkap Bambang Sulistya. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *