Korandiva-PATI.— Sidang lanjutan perkara dugaan penipuan investasi senilai Rp 3,1 miliar dengan terdakwa Anifah binti Pirna kembali digelar di Pengadilan Negeri Pati. Dalam persidangan tersebut, kuasa hukum terdakwa dari kantor Darsono, S.H. & Rekan menyampaikan duplik sebagai tanggapan atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya dibacakan pada 14 Oktober 2025. Pihak pembela menegaskan bahwa perkara yang menjerat kliennya bukan merupakan tindak pidana penipuan sebagaimana didakwakan, melainkan murni persoalan perdata yang berakar dari kesepakatan investasi dengan dasar hukum yang sah.
Tim penasihat hukum menjelaskan bahwa seluruh aliran dana dari saksi Nur Wiyanti kepada Anifah dilakukan atas dasar kepercayaan dan perjanjian tertulis yang dituangkan dalam Akta Notaris Febya Ciarinumsih, S.H. Mereka menilai tuduhan jaksa bahwa transaksi tersebut dilakukan tanpa izin pihak terkait tidak berdasar, karena dalam fakta persidangan terungkap adanya persetujuan dan keterlibatan beberapa pihak, termasuk Puji Supriyani. Pihak pembela menilai bahwa kegagalan pengembalian dana bukan merupakan bentuk penipuan, melainkan risiko bisnis yang lazim terjadi dalam hubungan investasi.
Dalam dupliknya, tim kuasa hukum menegaskan bahwa hukum pidana tidak seharusnya digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang bersumber dari perikatan perdata. Mereka menyebutkan, unsur penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi dalam perkara ini karena tidak terdapat unsur tipu muslihat atau kebohongan yang mendahului perjanjian. Berdasarkan bukti akta notaris, perjanjian antara kedua pihak berlangsung sah, terbuka, dan disertai jaminan berupa sertifikat tanah. Pandangan ini juga diperkuat oleh rujukan pada panduan Mahkamah Agung serta hasil penelitian Badan Litbang Hukum dan Peradilan MA tahun 2012 yang menegaskan adanya perbedaan tegas antara wanprestasi dan penipuan.
Di hadapan majelis hakim, pihak pembela menggambarkan proses hukum ini sebagai ujian bagi “timbangan Dewi Keadilan”. Mereka berharap agar hakim tidak hanya melihat perkara dari sisi formalitas hukum, tetapi juga mempertimbangkan niat, proses, dan bukti nyata yang menunjukkan bahwa terdakwa tidak pernah berniat menipu. Menurut tim pembela, Dewi Keadilan dengan matanya yang tertutup melambangkan kejujuran dalam menimbang perkara tanpa keberpihakan, sementara timbangan di tangannya menjadi simbol keseimbangan antara fakta hukum dan nurani.
Melalui duplik yang dibacakan, Darsono, S.H., bersama Vieko Meliska Putra Mahangga, S.H., memohon agar majelis hakim menegakkan keadilan sebagaimana filosofi Dewi Keadilan—yang tidak menilai dari bisikan kekuasaan atau tekanan emosi, melainkan dari keseimbangan bukti dan kebenaran. Mereka menutup pembelaan dengan harapan agar putusan yang akan dijatuhkan benar-benar mencerminkan keadilan sejati bagi terdakwa Anifah binti Pirna.
Dalam wawancara usai sidang, Darsono mengatakan, “Dari total investasi sebesar Rp3,1 miliar, sudah ada sekitar Rp1,2 miliar yang masuk sebagai bagi hasil usaha dan atau pengembalian pokok investasi.”
Ia menambahkan, “Ada jaminan, bahkan dua jaminan sertifikat tanah. Salah satunya seluas satu hektar yang berada di Desa Sidomukti, tepat di pinggir jalan raya kawasan industri.”
Lebih lanjut, Darsono menegaskan, “Penetapan tersangka dilakukan ketika kontrak kerja sama sebenarnya belum jatuh tempo.” (*)
