Korandiva-BLORA.- Pagi itu, Rabu, 19 November 2025, halaman Lapas Narkotika Kelas IIA Cipinang tampak berbeda dari biasanya. Deretan petugas berbaris rapi, spanduk tema “Satu Langkah, Satu Semangat, Satu Pengabdian untuk Bangsa” terpajang di sisi lapangan, dan para tamu undangan berdatangan satu per satu. Di tempat inilah, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) menandai usia pertamanya lewat peringatan Hari Bakti ke-1.
Bagi sebagian orang, seremoni itu tak lebih dari rutinitas institusi baru. Namun bagi publik yang mengikuti dinamika pemisahan lembaga ini, momen tersebut adalah barometer awal: apakah kementerian yang dipimpin Jenderal Pol. (Purn.) Agus Andrianto benar-benar bergerak keluar dari kultur lamanya, atau hanya mempercantik papan nama?
Agus tampil memimpin upacara dengan khidmat. Di hadapannya duduk Menteri PANRB Rini Widyantini, pejabat utama Kemenimipas, para kepala lapas, serta perwakilan lintas kementerian dan lembaga. Kebersamaan mereka bukan sekadar seremoni, melainkan penegasan bahwa perjalanan satu tahun ini tidak ditempuh sendirian.
Salah satu bagian yang paling mencuri perhatian adalah pemberian penghargaan kepada sejumlah mitra, termasuk Kementerian PANRB. Langkah itu diartikan sebagai pengakuan atas peran penting pihak luar dalam mengawal proses pemisahan kelembagaan—proses yang tidak hanya memindahkan tumpukan dokumen, tetapi juga mengubah tata kelola, pola pikir, serta alur kerja yang telah mengakar selama puluhan tahun.
Setelah prosesi penghargaan, Kemenimipas memperkenalkan beberapa program baru: Layanan Izin Tinggal Diaspora, Corporate University Kemenimipas, dan Koperasi Imigrasi. Pemerintah menyebutnya sebagai upaya membangun ekosistem kerja modern, memperkuat kompetensi SDM, serta meningkatkan kualitas pelayanan. Namun bagi publik, inisiatif-inisiatif itu masih menyisakan pertanyaan besar—apakah betul perubahan sedang berlangsung, atau masih sebatas daftar rencana yang menunggu pembuktian?

Di balik panggung upacara, tantangan yang dihadapi Kemenimipas memang tidak ringan. Secara struktural, Agus Andrianto harus merapikan organisasi, menyesuaikan regulasi, dan membangun pola koordinasi baru dengan banyak kementerian serta lembaga lain.
Sementara secara kultural, ia berhadapan dengan persepsi lama yang sulit dihapus: imigrasi dengan Birokrasi rumit dan celah pungli, pemasyarakatan dengan overkapasitas lapas, peredaran narkoba, dan praktik ilegal yang seolah tak pernah sepenuhnya hilang.
Peringatan Hari Bakti ke-1 ini menjadi semacam cermin. Kemenimipas ingin menunjukkan bahwa ia paham beban sejarah yang menyertai tugasnya. Kolaborasi yang diperlihatkan, penghargaan yang diberikan, dan program yang diluncurkan—semuanya menjadi isyarat arah baru yang ingin dituju.
Namun sebagaimana perubahan di lembaga publik pada umumnya, ujian sebenarnya tidak berlangsung di lapangan upacara. Ia bergulir di meja pelayanan imigrasi, di blok hunian lapas, di ruang koordinasi antarlembaga, dan di mata publik yang menunggu bukti.
Satu tahun pertama barulah fondasi. Pertanyaannya, apakah cukup kuat untuk menopang perubahan yang diharapkan? Waktu yang akan menjawabnya. (*)



