Korandiva-BLORA.– Audiensi ratusan petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Blora di gedung DPRD setempat, Rabu (1/10/2025), memanas bak kisah pewayangan “Petruk Menggugat ke Khayangan Bumi Blora Mustika.”
Mereka mengadukan penghentian mendadak musim giling 2025 oleh manajemen PT GMM Bulog dengan alasan kerusakan mesin boiler. Kebijakan ini dinilai sepihak dan memukul ribuan petani. Ribuan hektare tebu siap panen terancam membusuk di ladang, berpotensi menimbulkan gagal panen massal dan kerugian miliaran rupiah.
Ketua DPRD Blora, H. Mustopa, S.Pd.I, menegaskan pihaknya akan mendesak solusi agar nasib petani tidak terus dikorbankan. “Kami siap memfasilitasi. Jangan biarkan rakyat kecil terus jadi korban,” tegasnya.
DPRD mengusulkan solusi darurat dengan menyalurkan tebu ke PG Trangkil, sembari mendorong langkah fundamental: regulasi standar operasional pabrik gula agar tidak ada penghentian sepihak dan penetapan Harga Pembelian Tebu (HPT) yang adil dan seragam.
Wakil Ketua DPRD, Lanova Chandra Tirtaka, menyebut kerusakan mendadak mesin pabrik tidak masuk akal. “Apakah tidak ada perencanaan dan kontrol? Petani jangan terus jadi korban,” sindirnya.
Anggota DPRD sekaligus pengusaha tebu, Yuyus Waluyo, menilai manajemen PT GMM Bulog seharusnya segera berkoordinasi dengan pabrik gula lain di Jawa Tengah maupun Jawa Timur agar tebu petani tetap terserap.
Ketua APTRI Blora, Drs. H. Sunoto, menuding kemitraan dengan PT GMM Bulog tidak berjalan harmonis. “Kalau memang tidak mampu mengelola secara profesional, serahkan pada pihak yang lebih mampu. Jangan sampai petani tiap tahun hanya menanam kemiskinan,” ucapnya.
Senada, Ketua HKTI Blora, HM Kusnanto, SH, meminta audit internal dan bila perlu dilaporkan ke aparat penegak hukum. “Dulu pabrik gula didirikan untuk makmurkan petani, jangan justru jadi sumber penderitaan,” ujarnya.
Sekretaris APTRI, Anton Sudibyo, menuding manajemen PT GMM Bulog abai dan diskriminatif. Ia mencontohkan harga tebu anjlok dari Rp78/kg menjadi Rp71/kg setelah penghentian giling, merugikan petani Rp7/kg. “Dengan lahan 1.500 hektare belum tertebang, kerugian bisa sangat besar. Harus ada reformasi di manajemen PT GMM Bulog,” tegasnya.
Petani berharap pemerintah pusat turun tangan. Mereka menuntut kepastian regulasi, perbaikan manajemen pabrik, dan jaminan harga yang layak agar jerih payah setahun penuh tidak lagi berbuah pahit. (*)