Kredit Macet

BUPATI , Arief Rohman beberapa waktu lalu memecat Direktur Umum dan Pemasa-ran Perkreditan Rakyat () Blora Artha, Sigit Arie Heryanto. Sigit dipecat karena melanggar kode etik karena telah menerima atau meminta imbalan terkait pemberian yang diterima setelah kredit.

Buntut pemecatan direktur umum dan pemasaran ini akhirnya membuka tabir adanya kredit macet di BPR Blora Artha yang angkanya mencapai Rp 20 milyar. Angka yang cukup fantastis untuk ukuran sebuah BPR milik BUMD kabupaten.

Jika Sigit sudah dipecat karena menerima , lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kredit macet?
Logikanya bank itu tidak per-nah rugi, termasuk jika terjadi kredit macet. Karena bank dalam menyalurkan kredit nilainya jauh di bawah nilai jaminan. Jika terjadi kredit macet, bank akan bertindak sesuai SOP-nya, yaitu melakukan penyitaan terhadap asset yang dijaminkan.

Kalau dalam kredit macet tersebut menimbulkan kerugian di pihak bank pasti ada prinsip-prinsip perbankan yang telah dilanggar, yaitu over appraisal atau mencair-kan kredit yang nilainya di atas nilai asset yang dijaminkan.

Baca Juga:  Banding, Korban Kasus Mafia Tanah di Blora Menang di Pengadilan Tinggi

Over appraisal harusnya sulit terjadi karena proses pencairan kredit melalui berbagai tahapan dan melibatkan bank dari berbagai tingkatan mulai marketing, kepala bidang, hingga direksi. Apalagi jika pencairan kredit yang nilainya sudah ratusan juta hingga milyaran, sudah tentu seorang direktur utama juga ikut tanda tangan.

Maka jika perbankan sekelas BPR mengalami kredit macet hingga puluhan milyar, bisa dipastikan adanya kongkalikong antara nasabah dengan pejabat dalam bank tersebut.

Kongkalikong atau di tubuh perbankan akan mengabaikan prinsip-prinsip sebagai syarat utama untuk memberikan kredit kepada nasabah salah satunya adalah capacity.

Capacity merupakan kemampuan pihak debitur untuk melunasi kredit yang diajukan. Kriteria ini dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu pendapatan dan kondisi usaha atau perusahaan yang dimiliki.

Dengan prinsip ini, bank berusaha untuk menilai kemampuan debitur untuk mengembalikan kredit terkait dengan kemampuan mereka untuk menjalankan bisnis yang dimiliki dan menghasilkan keuntungan. Semakin banyak sumber pendapatan, semakin besar kemampuan untuk mengembalikan kredit.

Baca Juga:  Bertambah Lagi, Mantan Sekwan dan Mantan Kepala Dinkominfo Menjadi Anggota PWRI Kabupaten Blora

Ketika usaha yang dijalankan memiliki banyak permasalahan terutama di bagian keuangan, maka pihak pemberi kredit dapat menolak pengajuan yang dilakukan. Apalagi kalau usahanya fiktif, atau caleg gagal, tentunya berpotensi terjadinya kredit macet.

Kedua adalah collateral, yaitu jaminan yang akan diserahkan pada pihak bank. Bila kredit yang diterima nasabah nilainya lebih besar dari nilai jaminan, ini adalah kebodohan pihak bank. Karena nasabah menganggap urusan sudah selesai, nasabah menganggap assetnya sudah dibeli oleh bank dengan harga lebih mahal dari harga .

Jika Sigit dipecat karena terbukti telah menerima atau meminta imbalan kepada nasabah, bagaimana dengan pejabat bank yang telah melakukan kongkalikong atau KKN dan mengakibatkan kredit macet hingga milyaran rupiah?
***