TURUN tangannya Polda Jateng bersama Bareskrim Mabes Polri ke Blora terkait dugaan kisruh di tubuh PT. Blora Patra Energi (BPE) merupakan tamparan bagi Pemerintah Kabupaten Blora. Langkah penyelidikan yang dilakukan aparat berseragam coklat itu sebagai pertanda terjadinya perbuatan melawan hukum di tubuh perusahaan milik daerah tersebut, khususnya terkait kemitraannya dengan Perkumpulan Penambang Minyak Sumur Timba Ledok (PPMSTL).
Terkait kasus Ledok, polisi telah melakukan pemeriksaan terhadap 37 orang. Hasil pemeriksaan menyemangati aparat penegak hukum itu untuk menguak lebih dalam kebobrokan manajemen pengelolaan usaha sumur minyak di Lapangan Ledok Kecamatan Sambong.
Yang menarik adalah pernyataan pejabat dari Polda Jateng yang menegaskan, bahwa kedatangannya ke Blora bermaksud untuk menertibkan ratusan sumur minyak, sebagai upaya untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD) Blora.
Masih menurut polisi, selama ini pengelolaan sumur minyak di Blora tidak dikelola dengan baik. Pengelolaannya tanpa pengawasan, kemudian manfaat buat pemerintah daerah sangat kecil.
Kalimat seperti ini bukan lagi tamparan melainkan sudah merupakan pukulan bagi penguasa dan pejabat di Kabupaten Samin ini. Kalau dikatakan pengelolaan kurang baik, lalu apa saja yang dikerjakan oleh direksi BPE selama ini? Kalau kinerja direksi BPE dicap buruk, bagaimana peran komisarisnya?
Terdapat 196 titik sumur tua di Lapangan Ledok, yang berproduksi (menghasilkan minyak) sekitar 125 sumur. Jika satu titik sumur berpotensi menghasilkan 20 ribu liter, maka Blora harusnya bisa setor minyak ke Pertamina rata-rata 2,5 juta liter per bulan. Faktanya selama ini, minyak mentah yang disetor ke Pertamina Cepu berkisar 800 ribu liter setiap bulannya.
Jika ada klaim pejabat BPE atas peningkatan PAD dari setoran sumur minyak satu tahun terakhir itu bukan dikarenakan produksi minyak di Blora meningkat, melainkan dampak kenaikan harga minyak dunia yang otomatis meningkatkan jumlah setoran Pertamina ke rekening BPE.
Ketika BPE didirikan, ratusan sumur tua di Ledok sudah beroperasi dengan kemitraan bersama Kokaptraya. Hanya karena terbentur sebuah aturan, maka pada Tahun 2012 kemitraan tersebut dilepas oleh Kokaptraya yang selanjutnya diambil alih oleh BPE.
Ketika BPE pertama kali berdiri, di Lapangan Semanggi terdapat 71 titik sumur, tapi hanya 6 titik sumur yang berproduksi. Kalau sampai sekarang tidak ada tambahan titik sumur yang berproduksi, lalu apa saja yang dikerjakan manajemen BPE selama ini?
Jika keberadaan BPE memang tidak memberikan manfaat bagi peningkatan PAD Blora, sudah sepatutnya badan usaha milik daerah ini segera dibubarkan. Serahkan saja pengelolaan usaha sumur tua tersebut kepada KUD atau perkumpulan penambang di wilayah kecamatan masing-masing.
Kalau sekedar bekerja untuk memungut potongan yang 5,7 persen untuk PAD, Pemkab bisa alihkan tugas itu ke KUD atau perkumpulan. Dan, Pemkab tidak perlu lagi mengeluarkan biaya operasional, gaji direksi dan pegawai yang merupakan beban biaya rutin.
***