Walaupun sejak Tahun 2008 sudah disosialisaikan, ternyata masih banyak masyarakat dan lembaga publik yang belum memahami Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Tak heran kantor Komisi Informasi (KI) setiap bulannya selalu saja menerima permohonan sengketa Informasi Publik. Dan mayoritas badan publik yang bersengketa adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pemerintahan Desa (Pemdes), sementara obyek sengketanya adalah laporan pertanggung jawaban (LPJ) Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD).
Dalam hal ini, kepala desa terkesan over protektif dalam memberikan informasi terkait realisasi anggaran Dana Desa, bahkan Kades tak segan-segan menolak memberikan tanda terima surat permohonan yang disampaikan oleh LSM.
Tak heran, ketegangan antara kepala desa dengan LSM ini berujung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pemohon tentunya sudah menjelaskan panjang lebar tentang UU KIP yang mengatur mengenai kewajiban badan publik negara untuk memberikan pelayanan informasi yang terbuka, transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Tetapi Kades berkilah adanya intruksi Inspektorat untuk tidak sembarangan mengeluarkan dokumen. Bahkan tak jarang ada juga Kades yang berargumen bahwa LPJ ADD dan LPJ DD merupakan rahasia negara.
Seharusnya tidak perlu ada sengketa KIP, apalagi penyelesaiannya sampai di Pengadilan Tata Usaha Negara, jika para Kades paham bahwa pemerintahan desa itu merupakan badan publik yang dituntut dapat mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik (good governance) yaitu yang transparan, efektif dan efisien serta dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).
Yang perlu diketahui, RAB (Rencana Anggaran Belanja) Operasional Pemerintah Desa yang merinci satuan harga untuk setiap jenis dan objek belanja adalah bukan rahasia negara, dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat. Karena UU bilang seperti itu.
Masyarakat sekarang sudah lebih cermat dan berani melihat persoalan ini. Masyarakat juga sudah mulai berani melihat mana yang menjadi hak Kades, mana yang menjadi hak masyarakat. Jika Kades tidak mau melakukan keterbukaan, maka Kades tersebut dapat dituntut untuk mundur karena tidak mampu menjadi pelayan masyarakat.
Inspektorat yang memiliki tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa harusnya memberikan wejangan kepada para Kades untuk membuka kran informasi agar terang benderang terkait upah tenaga kerja, pembelian material, khususnya untuk jenis proyek bangunan jalan makadam dan talud.
Jika Inspektorat menginstruksikan agar Kades tidak sembarangan memberikan dokumen LPJ, patut diduga adanya sisi gelap yang sengaja ditutup-tutupi yang diduga terkait adanya potongan anggaran.
Semoga, sulitnya desa mem-berikan dokumen LPJ ADD dan DD, bukan karena para Kades takut kebongkar korupsinya.