Untuk membantu keluarga pra sejahtera, pemerintah pusat sejak tiga tahun lalu me-luncurkan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Ada 15,5 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang 81 ribu adalah keluarga di Kabupaten Blora.
Besarnya bantuan sosial Rp 200 ribu per bulan per KPM dimaksudkan untuk membantu keluarga miskin belanja beras, telur, buah, dan ikan.
Setiap bulan, Pemerintah Pusat langsung memberikan dana 200 ribu kepada KPM by name melalui Kartu Keluarga Sejahtera (semacam kartu ATM). Namun sayangnya KPM tidak boleh menggunakan kartunya untuk belanja di sembarang toko, melainkan harus beli sembako di warung yang ditunjuk oleh pemerintah. Namanya E-Warong.
Panjangnya mata rantai Bantuan Pangan Non Tunai (BP-NT) membuka peluang pihak terkait untuk disalahgunakan. Ternyata E-Warong hanyalah sebatas penyalur, sementara pemasok barang dan penentu harga adalah suplayer yang “ditunjuk” oleh Pemkab. E-Warong hanya diberi keuntungan Rp 14 ribu per KPM.
Sudah lama KPM di Blora mengeluh, karena beras, telur, daging, dan buah yang didapat dari E-Warong kualitasnya rendah. Kalau dihargai wajar, barang belanjaan dari E-Warong itu nilainya hanya Rp 140 ribu per paket.
Namun keluhan itu sepertinya tidak terdengar, atau memang tidak didengarkan oleh Pemkab Blora. Setelah tiga tahun, keluhan itu pun meningkat menjadi jeritan yang akhirnya didengar oleh kantor Kementerian dan Mabes Polri di Jakarta. Mendengar jeritan dari bawah, Tim Kemensos dan Intel Mabes Polri, pekan lalu langsung datang ke Blora untuk mengusut E-Warong.
Dari hasil investigasi lapangan ditemukan banyak kejanggalan. Untuk beras ada bercampur ulat, berwarna hi-tam hingga tidak layak konsumsi. Untuk telur, buah dan daging harganya di atas HET pasar.
Mulai saling lempar, E-Warong tidak mau disalahkan karena semua barang tersebut dikirim oleh suplayer “tunjukan” Pemkab. E-Warong tidak berani ambil barang dari tempat lain karena telah diikat perjanjian oleh suplayer.
Namun anehnya, ada E-Warong di Kecamatan Cepu yang bisa menolak pasokan barang dari suplayer. E-Warong Cepu bisa disebut E-Warong mandiri yang bekerjasama dengan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) untuk pengadaan barangnya.
Dampaknya, KPM di Cepu lebih diuntungkan karena beras, telur, buah, dan daging yang diterimanya lebih berkualitas dengan harga yang bersaing dengan toko dan pasar.
Tidak perlu berlindung di balik lembaga perbankan seperti BNI dan BRI yang katanya paling berwenang menata ulang E-Warong. Jika suplayer dan E-Warong yang bermasalah merupakan warisan penguasa lama, maka tugas pemimpin Blora yang baru adalah segera merombak dengan menata ulang mekanisme penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ini.
Jangan sampai aturan lama yang kurang benar malah “dilanjutkan” oleh pemerintahan yang baru, seperti halnya pengangkatan 3 orang Staf Khusus Bupati. (***)