Korandiva-PATI.- Sidang ke-17 perkara dugaan penipuan investasi senilai Rp3,1 miliar dengan terdakwa Anifah binti Pirna resmi memasuki babak akhir di Pengadilan Negeri Pati. Majelis hakim yang dipimpin Budi Aryono, S.H., M.H. selaku Ketua Majelis, bersama Dian Herminasari, S.H., M.H. sebagai Anggota Hakim I dan Wira Indra Bangsa, S.H., M.H. sebagai Anggota Hakim II, membacakan putusan yang mengejutkan: perkara tersebut dinilai bukan penipuan, namun tindak pidana penggelapan.
Putusan itu dijatuhkan dengan pendapat tidak bulat. Dua hakim, yakni Ketua dan Anggota I, sepakat menyatakan bahwa Anifah melakukan penggelapan karena tidak bisa mengembalikan dana investasi, padahal kontrak kerjasama investasi tersebut belum jatuh tempo atau belum selesai.
Sementara itu, Hakim Anggota II menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion), menilai perkara tersebut bukan pidana, melainkan sengketa perdata, sebab disertai akta perjanjian notaris, adanya cicilan, dan jaminan tanah.
Kuasa hukum terdakwa, Darsono, S.H., menilai putusan tersebut tidak mencerminkan logika hukum yang adil. Ia menegaskan, kliennya bahkan sudah ditetapkan sebagai tersangka sebelum jatuh tempo perjanjian berakhir. “Ini jelas keliru. Bagaimana bisa seseorang dijadikan tersangka ketika perikatannya saja belum berakhir? Ini mencederai asas keadilan,” tegas Darsono dengan nada kecewa.

Ia juga menyatakan pihaknya sedang mempertimbangkan langkah banding, sembari menunggu keputusan resmi dari kliennya. “Kami punya waktu tujuh hari untuk pikir-pikir. Tapi melihat dari sisi keadilan, kami cenderung akan mengajukan banding,” ujarnya.
Lebih tajam lagi, Darsono menyoroti inkonsistensi logika putusan tersebut dengan memberikan contoh yang menggugah akal sehat. “Kalau logika hakim itu dipakai, maka semua nasabah bank bisa dipenjara,” ujarnya menyindir.
“Bayangkan, seorang nasabah mengajukan pinjaman untuk modal usaha, tapi ternyata uangnya dipakai membeli mobil — apakah lantas dia harus dipidana? Padahal ada kontrak notaris, ada cicilan, dan ada jaminan. Tapi bagi dua hakim itu, semua itu dianggap tak berarti.”
Darsono menegaskan, putusan yang mengabaikan kontrak sah di hadapan notaris dan jaminan hukum justru menimbulkan preseden berbahaya bagi dunia usaha dan perbankan. “Ini bukan hanya soal Anifah, tapi soal akal sehat hukum kita. Kalau cara berpikir seperti ini diteruskan, maka hukum pidana bisa dengan mudah menelan ranah perdata,” pungkasnya tajam.
Apakah langkah banding akan benar-benar ditempuh? Darsono menyebut, keputusan akhir akan diambil usai konsultasi dengan kliennya, namun ia memastikan bahwa perjuangan hukum belum berhenti di sidang kali ini. (*)
