WARTAWAN sejati tidak sekadar menulis apa yang tampak di depan mata. Mereka berusaha memahami ke mana sebuah peristiwa mengalir, dan bagaimana aliran itu berakhir. Sebab setiap berita memiliki umur: ia lahir dari sebuah kejadian, tumbuh di tangan penulisnya, lalu perlahan meredup ketika perhatian publik berpindah ke peristiwa lain.
Namun selama masih ada hati yang peduli, sebuah berita tak pernah benar-benar mati. Ia tetap bernafas — melalui ingatan, melalui catatan kecil yang diselipkan wartawan di sudut tas, atau dalam lipatan nurani.
Saya selalu percaya, tugas wartawan bukan hanya melaporkan fakta, tetapi juga menjaga nyala makna di balik setiap peristiwa. Dulu, kami rela menunggu di lapangan berjam-jam demi mendapatkan satu kalimat yang benar-benar hidup — satu kutipan yang lahir dari kejujuran. Dari sanalah lahir kebenaran yang berjiwa.
Kini, di era serba cepat, umur sebuah berita sering kali tak sampai sehari. Ia hidup sejenak di layar, lalu tenggelam dalam arus scroll dan klik. Banyak yang menulis, tapi sedikit yang menelusuri. Banyak yang mengutip, namun jarang yang benar-benar menyelami.
Padahal, berita yang baik bukanlah yang paling cepat tayang, melainkan yang paling lama diingat. Sebab setiap berita sejatinya adalah kesaksian — dan wartawan adalah penjaga ingatan zaman.
Selama masih ada yang mau mendengar dengan hati, dan menulis dengan nurani, umur sebuah berita akan selalu panjang. Ia akan terus hidup di antara kata dan kenyataan, menjadi jembatan antara peristiwa dan kemanusiaan.
“Karena berita yang lahir dari hati, akan menemukan jalannya menuju hati yang lain.” (*)