Korandiva-PATI.- Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) menyoroti dua hal fatal dalam unjuk rasa pada Rabu, 13 Agustus 2025. Kuasa hukum mereka, Kristoni Duha—dikenal sebagai Toni—mengaku bukan hanya jadi korban penganiayaan dari aparat, tetapi sebelumnya telah difitnah sebagai biang kericuhan. Tuduhan tersebut dilontarkan oleh preman yang diduga dikirim oleh Bupati Sudewo.
Ketika Toni dan sejumlah warga hendak menyelamatkan demonstran yang dikabarkan ditahan di Pendapa Kabupaten Pati sekitar pukul 13.15 WIB, mereka masuk dengan gampang tanpa dihalangi oleh aparat, seolah olah sudah diskenario. Justru, sesaat di luar, telah menanti sekitar 15 preman yang teriak bahwa Toni dan kawan-kawannya adalah “provokator luar Jawa” yang merusak ketenangan daerah.
Upaya Toni menunjukkan KTP dan membuktikan dirinya bukan pendatang ditolak aparat. Dalam kondisi disekap dan diadang, Toni serta rekannya mula-mula diserang oleh preman, lalu dilanjutkan oleh petugas—sekitar 50 personel polisi terlibat. Wajahnya terluka parah, tertoreh bekas sepatu, sementara hidungnya memar akibat tendangan saat ia terkapar.
Kekerasan semakin brutal; dompet Toni raib, berisi uang sekitar Rp 1 jutaan, dan dua ponselnya disita oleh polisi. Ia terakhir disekap bersama 11 orang lainnya di ruangan sempit sejak sekitar pukul 13.30 WIB hingga dibebaskan sekitar pukul 17.00 WIB berkat bantuan kolega kuasa hukum AMPB, Nimerodin Gulo.
Peristiwa ini berbuntut pada dugaan pelanggaran HAM. Toni menyatakan akan menempuh jalur hukum karena menganggap tindakan aparat tak hanya represif, tetapi masuk kategori kriminal.
Sementara, Polresta Pati melalui Kasihumas, Ipda Hafid Amin, mengaku belum memiliki informasi konkret soal insiden tersebut—namun menyatakan kesediaannya untuk menyelidiki kebenaran tuduhan. (*)