PROSES seleksi Direktur dan Komisaris PT Blora Patragas Hulu (BPH) saat ini tengah menjadi perhatian publik. Sejak berdiri pada tahun 2005, BUMD milik Pemerintah Kabupaten Blora ini sudah beberapa kali mengalami pergantian direksi.
PT BPH didirikan untuk mewakili keikutsertaan Blora dalam Participating Interest (PI) Blok Cepu — sebuah wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) di perbatasan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) dan Kabupaten Blora (Jawa Tengah).
Meski bergerak di bidang migas, peran PT BPH sejatinya hanya sebatas pemegang hak ekonomi (financial interest). Seluruh kegiatan eksplorasi dan produksi di lapangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) selaku operator Blok Cepu. Dengan demikian, BPH tidak memiliki fungsi teknis atau operasional di lapangan.
Secara praktis, tugas PT BPH hanya menunggu pembagian dividen tahunan dari hasil kegiatan Blok Cepu, lalu menyalurkannya kepada Pemerintah Kabupaten Blora sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Walaupun jumlah dividen yang diterima setiap tahun bisa mencapai puluhan miliar rupiah, porsi yang masuk ke kas daerah sebenarnya tidak terlalu besar, karena keuntungan tersebut masih harus dibagi dengan investor dari luar daerah yang menanamkan modal ke BPH.
Ironisnya, dengan biaya operasional dan gaji direksi yang tidak kecil, aktivitas manajemen PT BPH lebih banyak bersifat administratif. Tidak ada target peningkatan produksi, proyeksi bisnis baru, atau upaya ekspansi usaha.
Dalam kondisi seperti ini, keberadaan struktur organisasi yang besar—lengkap dengan komisaris, direksi, satuan pengawas internal, serta bidang keuangan, akuntansi, operasional, dan hukum—patut dipertanyakan efektivitasnya.
Padahal, kegiatan utama PT BPH sebenarnya dapat ditangani oleh satu atau dua orang tenaga akuntansi yang paham pajak untuk mengelola administrasi keuangan dan pembagian dividen.
Dengan merampingkan struktur dan mengefisienkan biaya, BUMD ini justru bisa meningkatkan kontribusinya terhadap PAD.
Mengurangi beban gaji komisaris dan direksi berarti menambah setoran bagi daerah.
Jika tujuan utamanya hanya mengelola dividen dari Blok Cepu, sebenarnya Pemkab Blora tidak harus membentuk BUMD. Alternatifnya, bisa dibentuk Unit Layanan Usaha (ULU) di bawah organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, atau bahkan koperasi daerah yang dikelola oleh seorang manajer profesional tanpa struktur direksi yang kompleks.
Namun, bila model BUMD sekarang ini tetap menjadi pilihan, perampingan struktur organisasi dan pengetatan biaya operasional mutlak dilakukan.
Dengan langkah ini, PT BPH dapat lebih efisien, transparan, dan berorientasi pada peningkatan manfaat ekonomi bagi daerah.
“Jika omzet tidak bisa ditingkatkan, maka efisiensi harus dijalankan. Kunci keberhasilan usaha adalah bertumbuh atau berhemat dengan cerdas.”
***
