Blora Menuju Pendidikan Inklusif, Stefany: Perjuangan Masih Panjang

By: Bambang Sartono

Korandiva-.- tengah menapaki panjang menuju sistem yang benar-benar inklusif. Perjalanan ini penuh tantangan, namun bukan berarti mustahil diwujudkan. Upaya yang dilakukan RSUD dr. R. Soetijono Blora bersama para pegiat pendidikan menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari empati di ruang kelas hingga dukungan nyata dari pemerintah.

Psikolog RSUD Blora, Stefany Widya Ayu W., menjadi salah satu sosok penting di balik upaya ini. Ia menegaskan bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar kebijakan, tetapi cerminan nilai kemanusiaan.
“Pendidikan inklusif di Blora memang mulai berkembang ke arah positif. Namun, masih banyak tantangan yang harus kita hadapi bersama,” ujarnya.

Stigma Masih Jadi Kendala
Menurut Stefany, hambatan terbesar masih datang dari lingkungan , terutama stigma terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK). Tidak jarang ABK menjadi sasaran ejekan teman sebaya, bahkan mendapat perlakuan kurang sensitif dari pendidik.

“Ketika anak merasa tidak diterima, kepercayaan dirinya akan jatuh. Padahal, penerimaan adalah fondasi utama bagi tumbuh kembang psikologis mereka,” jelasnya.

Minimnya tenaga pendamping atau guru pembimbing khusus (GPK) juga menjadi persoalan serius. Anak-anak merasa kurang didukung, sementara guru sering kewalahan menghadapi keragaman kebutuhan di dalam kelas.

Peran Psikolog di Sekolah
RSUD Blora tidak hanya berperan secara klinis, tetapi aktif menjalin kerja sama dengan sekolah dan orang tua. Layanan seperti konseling, asesmen psikologi, terapi wicara, dan terapi okupasi kini rutin diberikan. Sejumlah sekolah juga mulai merujuk siswa untuk mendapatkan intervensi profesional.

Stefany menekankan pentingnya psikologi anak bagi para guru agar mereka mampu menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan suportif. Dukungan dari teman sebaya juga dinilai krusial dalam membangun interaksi positif di kelas.
“Kami berharap guru tidak ragu untuk berkomunikasi dengan psikolog. data antara sekolah, orang tua, dan tenaga akan menghasilkan penanganan yang lebih efektif,” tegasnya.

Tiga Pihak
Kolaborasi antara psikolog, guru, dan orang tua menjadi fondasi utama pendidikan inklusif. Psikolog bertugas memantau kondisi emosional ABK, guru menyesuaikan metode pengajaran, dan orang tua memberikan dukungan di rumah.
Stefany juga mendorong praktik pendampingan anak melalui kehadiran shadow teacher atau pendamping pribadi yang memahami karakter anak. Model ini, yang telah diterapkan di sejumlah kota besar, menurut-nya dapat diadopsi di Blora.

Masyarakat yang Lebih Empatik
Bagi Stefany, pendidikan inklusif bukan hanya tentang hak ABK, melainkan juga tentang membangun masyarakat yang lebih peduli dan empatik. Jika inklusi gagal diwujudkan, dampak jangka panjangnya serius: anak-anak terpinggirkan, masyarakat makin eksklusif, dan potensi besar dari generasi ini terabaikan.

Meski tantangannya besar, Stefany tetap optimistis. Ia berharap pemerintah daerah lebih serius dalam meningkatkan jumlah tenaga pendamping, psikolog, dan terapis. Guru pun perlu terus dilatih agar semakin peka dan sabar.
“Yang tidak kalah penting, orang tua juga harus menanamkan nilai kepada anak-anak mereka, agar tidak membeda-bedakan teman,” pungkas Stefany. (*)