MEMASUKI bulan Agustus, suhu politik di Kabupaten Pati mulai menghangat. Puncaknya terjadi pada 13 Agustus, saat puluhan ribu warga memadati area Kantor Bupati. Ketegangan sudah terasa sejak beberapa hari sebelumnya, ketika sekelompok warga mendirikan posko donasi air minum untuk mendukung aksi demonstrasi menolak kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Aksi unjuk rasa itu bukan sekadar soal penolakan kenaikan pajak. Amarah warga telah menumpuk. Mereka menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Spanduk-spanduk yang terbentang, kendaraan yang dihiasi pesan protes, semua menyuarakan hal yang sama: ketidakpuasan mendalam terhadap gaya kepemimpinan sang bupati yang dinilai otoriter dan jauh dari aspirasi rakyat.
Tak hanya soal pajak, warga juga menolak berbagai kebijakan kontroversial sebelumnya, seperti pemecatan massal tenaga honorer RSUD Pati dan penggabungan sekolah yang berdampak pada hilangnya jam mengajar banyak guru.
Ketika gelombang protes makin liar dan kantor bupati nyaris lumpuh, para anggota DPRD Pati baru bergerak. Mereka mendadak menggelar sidang paripurna dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemakzulan. Tapi publik bertanya: kenapa baru sekarang?
Seharusnya, DPRD sebagai wakil rakyat bertindak lebih awal.
Mereka punya kewenangan dan mandat untuk mengawasi kebijakan pemerintah daerah. Kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen bukanlah kebijakan remeh. Itu menyentuh langsung hajat hidup rakyat. Tapi para wakil rakyat tampaknya justru memilih diam, atau lebih tepatnya “ikut saja” dengan keputusan bupati.
Apakah para dewan benar-benar tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Kebijakan kenaikan pajak seharusnya melalui mekanisme legislasi yang melibatkan persetujuan DPRD. Kalau prosedur itu dijalankan dengan semestinya, protes massal seperti ini bisa dicegah. Atau paling tidak, DPRD bisa menjadi pagar pertama sebelum rakyat turun ke jalan.
Kini, Bupati Sudewo akhirnya membatalkan kebijakan kenaikan pajak setelah tekanan publik yang luar biasa. Tapi keputusan itu datang telat. Dan publik pun sadar bahwa yang memulai perlawanan bukan DPRD, melainkan rakyat sendiri.
Masyarakat Pati kini menanti hasil kerja Pansus Pemakzulan. Tapi jangan sampai Pansus ini hanya menjadi alat peredam amarah sesaat. Hak angket yang dimiliki DPRD bukan sekadar formalitas. Ia adalah alat kontrol atas kekuasaan eksekutif. Jika dibiarkan tumpul, maka rakyat akan terus menjadi korban kebijakan sepihak yang tidak berpihak.
Sudah saatnya DPRD Pati membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat. Bukan hanya bereaksi setelah krisis meledak, tapi menjadi garda depan dalam mengawal kebijakan publik yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
***