Komisaris BPE

MINIMNYA minat masyarakat (termasuk ) terhadap lowongan komisaris pada PT () patut menjadi perhatian serius. Kondisi ini mencerminkan adanya persepsi negatif terhadap perusahaan milik Pemerintah tersebut. Bukan hanya soal kurangnya publikasi lowongan, tetapi juga terkait reputasi dan kredibilitas perusahaan yang dinilai kurang meyakinkan.
BPE pernah menjalin kerja sama dengan salah satu perkumpulan penambang lokal yang menuai kontroversi. Ditambah lagi, isu kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan kerap menjadi sorotan publik. Ini membentuk citra negatif terhadap BUMD tersebut di mata masyarakat .

pengunduran diri direktur utama BPE setelah tepergok memberikan berupa uang senilai Rp 50 juta kepada tahun silam makin memperburuk citra manajemen. itu masih melekat kuat dalam ingatan publik sebagai contoh nyata lemahnya tata kelola perusahaan.
Selain itu, masyarakat menilai BPE sebagai perusahaan yang kurang bonafide karena memiliki aset dan modal yang sangat minim. Meski disebut mengelola ratusan , faktanya sumur tersebut bukan milik BPE, melainkan milik warga desa penambang yang selama ini beroperasi secara tradisional.
Konsekuensinya, otoritas BPE terhadap kegiatan eksplorasi dan produksi sangat terbatas. Masyarakat penambanglah yang memiliki kendali penuh atas sumur-sumur tersebut, termasuk dalam menentukan apakah investor diperbolehkan masuk atau tidak.

Secara , BPE juga bergantung sepenuhnya pada jasa pihak ketiga. Perusahaan ini tidak memiliki armada sendiri untuk mengangkut minyak mentah ke kilang . Seluruh kegiatan angkutan dilakukan oleh kendaraan milik warga yang disewa setiap hari oleh BPE, yang mencerminkan keterbatasan modal dan kapasitas.
Dari sisi bisnis, BPE hanya memperoleh pendapatan dari komisi atas ongkos angkut minyak tua, bukan dari hasil eksplorasi atau penjualan langsung. Skala usaha yang sangat terbatas ini menjadi alasan mengapa jabatan komisaris tidak menarik bagi kalangan profesional berpengalaman, karena tunjangan dan kompensasi yang ditawarkan dinilai tidak sepadan dengan tanggung jawabnya.

Yang juga mengikis kepercayaan masyarakat adalah persepsi bahwa proses seleksi jabatan di BUMD, termasuk BPE, hanya formalitas belaka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rekrutmen kerap diwarnai nuansa politis dan dominasi “orang dalam” yang seolah sudah disiapkan sejak awal proses.

Minimnya peminat untuk po-sisi komisaris seharusnya menjadi alarm bagi dan manajemen BPE untuk segera berbenah. Diperlukan langkah konkret untuk meningkatkan transparansi, memperbaiki tata kelola, serta membangun kembali kepercayaan publik.
Lebih dari itu, Blora perlu menjadikan rekrutmen pejabat BUMD sebagai proses profesional yang terbuka dan kompetitif. Jika tidak, sulit bagi BUMD seperti BPE untuk berkembang dan menjadi tempat karier yang diminati oleh figur-figur berintegritas dan berkualitas. (*)