Tanah bengkok tiba-tiba menjadi perbincangan hangat di kalangan perangkat desa. Mereka yang belum lama ini baru dilantik menjadi perangkat desa, ada yang mulai mempertanyakan hak atas bengkok—seperti halnya hak yang dimiliki oleh para kepala desa.
Bukan tanpa alasan jika para perades mempertanyakan hal itu. Karena ketika proses rekrutmen, mereka dijanjikan oleh agen atau kepala desanya, bahwa selain mendapat gaji dari Siltap setiap bulannya, perades yang sudah dilantik juga akan memiliki hak pengelolaan bengkok.
Padahal Undang-Undang No.6 Tahun 2014 menegaskan, pengelolaan aset desa atau tanah bengkok yang selama ini sebagian besar dikelola untuk gaji perangkat desa yang bukan pegawai negeri dan sebagian lainnya dianggarkan untuk pendapatan daerah atau desa.
Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele, karena hampir semua Perades pada saat rekrutmen mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar bisa lolos seleksi. Bahkan sekarang ini, sebagian besar Perades “menyekolahkan” SK-nya ke lembaga keuangan.
Bukan nekat tetapi mereka sudah punya hitungan, jika gaji dari Siltap setiap bulannya habis untuk bayar angsuran ke bank, maka dia masih bisa “hidup” dari hasil lelang bengkok setiap tahunnya.
Yang dijadikan contoh oleh mereka adalah kepala desa yang sekarang menerima gaji dari Siltap setiap bulan, dan juga menikmati hasil lelang bengkok setiap tahunnya.
Padahal itu contoh yang keliru, harusnya setelah dua tahun sejak diterbitkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014, kepala desa dan perangkat desa sudah tidak boleh lagi menerima hasil lelang eks-bengkok.
Setiap bulan, seorang kepala desa menerima penghasilan Rp 4.230.000,- yang berasal dari gaji Siltap, Tunjangan Jabatan (setara dengan kepala kelurahan), dan Tunjangan Perbaikan Pengasilan (TPP).
Tanah eks-bengkok boleh disewakan kepada warga desa, termasuk kepada perangkat dan kepala desa setempat melalui mekanisme lelang. Dan hasil lelang sepenuhnya masuk ke kas desa setempat.
Yang perlu diperhatikan, pengelolaan tanah eks Bengkok yang masih digarap perangkat desa berpotensi menjadi dugaan tindak pidana Korupsi (Tipikor) masal. Pasalnya persoalan tanah eks bengkok tidak dikelola langsung perangkat desa sejak 2010 lalu. Ada kerugian negara dan masyarakat jika eks tanah bengkok tidak dijalankan sesuai regulasi semestinya.
Yang perlu dipertanyakan, apa dasar aturan kepala desa yang hingga sekarang masih ngotot eks tanah bengkok tidak dilelang dan melekat menjadi hak mereka. Karena seharusnya tanah eks bengkok yang dipertahankan Kades tersebut bisa dioptimalkan untuk pemerataan ekonomi di desa.
Apa alasan Pemkab Blora tidak menjalankan amanah Undang-Undang No.6 Tahun 2014? Bahkan jika ada anggota dewan yang pernah menjabat sebagai kepala desa (Kades) yang semestinya mengetahui hal tersebut, bisa kita anggap melakukan pembiaran. Karena terhitung sejak 2010 regulasi harusnya sudah dikembalikan.
Melihat realita seperti itu, masihkah para perades memiliki semangat untuk melayani masyarakat di desanya?