Dendam juga

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), telah bersikap tegas atas Keputusan Bupati yang dianggap telah menyengsarakan para guru yang menjabat kepala sekolah. yang merupakan wadah kaum Umar Bakri itu minta kepada bupati agar segera melakukan .

Kenapa harus dievaluasi? Bukankah kebijakan dan rotasi aparat sipil negara () dalam organisasi pemerintah daerah sudah melalui proses panjang, dan atas petunjuk bupati.

Jika sampai dilakukan evaluasi itu sama artinya kebijakan mutasi dan rotasi guru dan kepala sekolah pada pertengahan Februari lalu dilakukan dengan sangat gegabah, seperti ketika Bupati mengangkat 3 orang staf khusus yang tanpa melalui pertimbangan matang sehingga nabrak peraturan yang sudah ada.

Memang tidak bisa dipungkiri, kebijakan Bupati Arief dalam melakukan mutasi atau rotasi ASN sejak yang pertama kali sudah tercium aroma politis. Dalam melakukan promosi atau demosi juga lebih dikarenakan faktor Like or Dislike.

Baca Juga:  "Intil-intil" Pupuk Bersubsidi Dijual sesuai Kebutuhan Petani

Padahal ketika masih menjabat wakil bupati, Arief Rohman mengaku sangat prihatin melihat kondisi Blora yang terkotak-kotak akibat kebijakan bupati lama yang menerapkan balas dendam.

“Nanti akan saya buat birokrasi Blora satu warna dan tidak terkotak-kotak. Tidak ada istilah orangnya siapa, kalau profesional harus diberikan tempat sesuai kapasitasnya,” ujar Arief Rohman menjelang pencalonannya dalam Pilkada Blora, kemarin.

Bupati bisa berkelit bahwa kebijakan mutasi dan rotasi yang dilakukan belum pernah melakukan demosi, pasalnya tidak ada ASN yang turun golongan atau gajinya berkurang. Tapi wujud demosi itu diantaranya memindahkan mereka ke kering, kantor yang lebih kecil, atau ke tempat kerja yang jauh dari rumah.

Terkait ratusan guru dan kepala sekolah yang mendapat “hukuman” pindah ke sekolah yang letaknya jauh dari tempat tinggalnya, kuat mereka adalah orang-orang yang pada Pilkada Blora kemarin berada di seberang.

Baca Juga:  Tabrakan Motor, ABG Tewas di Jalan Raya Ngawen-Blora

Sebagai pemenang dalam Pilkada, boleh-boleh saja bupati terpilih mempromosikan orang-orangnya, memberi pada OPD strategis supaya bisa membantu juga ketika sang bupati ketika akan mencalonkan kembali pada periode berikutnya.

Tapi dengan memberikan hukuman kepada ASN yang sudah puluhan tahun berkarir, sepertinya koq kurang elok. Karena mereka adalah orang-orang yang sudah berumur, punya istri juga anak yang pasti ikut tertekan psikologinya. Memangnya bisa jika melihat ada orang sengsara?

Ingat, bahwa simbol jabatan bupati adalah matahari. Kalo dalam falsafah Jawa bisa diartikan mampu menerangi yang ada dibawahnya.

Selain itu, bupati juga sosok komandan dalam birokrasi yang harus bisa memberikan komando sekaligus bisa membagi tugas. Kalaupun tidak suka dengan orang-orang yang ada di bawahnya, tetapi tugas negara harus tetap diberikan kepada ASN yang menjabat sesuai tupoksi masing-masing. Jangan malah sibuk membuat birokrasi jalanan di luar sana.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *