Sudah empat bulan lebih polemik pengisian perangkat desa (perades) bergulir dan belum ada tanda akan reda. Bahkan jumlah laporan ke polisi terus bertambah. Ratusan warga terus beraksi di depan kantor bupati Blora, hingga melapor ke Jakarta. Permintaan mereka cuma satu, hasil seleksi perades harus dibatalkan karena banyak kecurangan.
Di penghujung Tahun 2021 lalu, 194 desa di Kabupaten Blora membuka lowongan perangkat. Ada 857 jabatan yang harus diperebutkan oleh 4.413 peserta. Satu-satunya jalan adalah harus ada proses seleksi yang ketat.
Sesuai aturan, seleksi perangkat desa adalah mutlak kewenangan desa dan tidak harus dilaksanakan secara serentak seperti di Blora sekarang ini.
Bila di salah satu desa ada perangkat yang berhalangan karena meninggal atau mengundurkan diri, dalam tempo 2 atau 3 bulan seorang kepala desa bisa langsung mengadakan penggantinya.
Seleksinya pun bisa diadakan sendiri, dan tidak harus melibatkan kampus besar yang pu-nya fakultas tertentu. Tenaga pengujinya pun bisa disepakati oleh panitia desa yang ditunjuk, bekerjasama dengan sekolah yang ada di wilayah itu. Dan itu prerogratif desa.
Bukan tanpa aturan. Tetap saja panitia tidak boleh curang, dan kepala desa tidak boleh terlibat KKN. Kalo terbukti ada kecurangan tetap bisa digugat.
Entah apa yang ada di benak panitia atau kepala desa sekarang ini, seleksi perades dilaksanakan dengan menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT). Tempat test nya pun dipilihkan kampus yang lokasinya jauh dari Blora, jaraknya lebih 100 Km. Padahal tak sedikit perguruan tinggi di Blora yang memiliki jaringan komputer, bahkan di Cepu juga ada sekolah tinggi teknologi yang memiliki jurusan komputer.
Jika akhirnya hasil test CAT di Semarang menuai banyak gugatan, diduga keterlibatan perguruan tinggi yang harusnya bisa “membantu” Blora meningkatkan kualitas penyaringan malah dijadikan tempat “pembantaian” peserta yang tidak didukung panitia atau desa.
Tak ada kejahatan yang sempurna. Insiden muncul ketika Ami'ul Khasanah warga Desa Talokwohmojo, Kecamatan Ngawen yang hasil CAT-nya peringkat satu dengan nilai 70, tapi yang yang dilantik justru peringkat nomor 3 yang nilainya 66,4.
Seleksi perades dengan menggunakan sistem CAT, inisiatif siapa? Pelaksanaan test dilaksanakan di luar wilayah Blora itu anjuran siapa?
Kabarnya Kades sempat mendapat tekanan jika tidak ikut CAT. Jika ada apa-apa tim pembina gak ikut bertanggung jawab. Melaui surat edaran bupati, tim pembina pula yang menentukan kampus penyelenggara CAT Perades.
Kini sudah ada 9 desa yang dilaporkan, bahkan ada kepala desa yang ditahan terkait ka-sus perades.
Dalam kondisi seperti ini tentunya yang paling dirugikan adalah masyarakat Blora. Kepala desa yang harusnya sudah bisa bekerja bersama perangkat yang baru, sekarang malah terperangkap oleh masalah yang membuatnya harus riwa riwi ke kantor polisi.