NATURAL Resource Curse atau kutukan sumber daya alam (SDA) adalah sebuah istilah paradoks dari blessing yang biasanya melekat dengan kepemilikan SDA. Mengapa demikian? Ini terkait dengan fenomena dimana daerah yang kaya akan SDA tidak serta merta menjadi daerah yang makmur. Namun sebaliknya, justru bisa menjadikan kutukan bagi pemiliknya.
Kekayaan alam yang dieksploitasi dan diharapkan memberikan manfaat bagi masya-rakatnya, kadangkala ternyata tidak sebanding dengan dampak negatif yang diakibatkan dalam proses ekploitasinya. Diantaranya, selain dampak terhadap lingkungan—tidak jarang kekayaan SDA ini juga memicu adanya konflik sosial, seperti konflik lahan dengan masyarakat sekitar, serta dampak lain seperti adanya kesenjangan pem…
Terbukti kutukan ini terjadi di Blora, kabupaten yang terkenal dengan kekayaan SDA Migas juga SD Hutan. Dengan 50% luas kabupaten terdiri dari hutan jati yang konon adalah pohon jati terbaik di dunia, namun berdasarkan Sensus Penduduk 2022 angka kemiskinan di Blora di atas angka kemiskinan Nasional dan Jawa tengah. Demikian juga dengan angka Pengangguran dan stunting/gizi buruk. Hal ini kontradiktif dengan kekayaan SDA Migas yang dimiliki Blora. Karena dari Migas Blok Cepu mampu menjadi peringkat pertama penyumbang Lifting minyak Nasional (30%) belum dengan Gas dari Blok Cepu dan Sumber Menden.
Yang menarik, pendapatan SDA ini justru dinikmati secara dominan oleh pemerintah pusat dan perusahaan asing yaitu Exxon.
Pusat selain dapat lifting minyak yang berarti income dan pajak yang masuk ke Kemenkeu. Pusat juga dapat bagi hasil melalui kepemilikan 45% saham Blok Cepu melalui Pertamina EP Cepu. Dan PEPC adalah penyumbang la-ba terbesar dalam laba tahunan Holding Pertamina selama beberapa tahun terkahir.
Sedangkan Exxon sebagai operator juga memiliki 45% saham Blok Cepu mendapatkan income dari cost recovery dan bagi hasil. Dan menjadi salah satu perusahaan peringkat atas di AS.
Kutukan jelas didapat oleh Blora sebagai pemilik SDA Migas yang hanya dapat bagian kecil dari Participating Interest karena harus sharing deng-an Investor. Dan Blora baru akan dapat DBH Migas tahun depan, setelah perjuangan panjang hingga JR ke MK. Itupun pasca revisis UU HKPD cuma dapat 1/7 dari 3% karena harus berbagi dengan 6 kabupaten di Jatim yang berbatasan dengan mulut sumur.
Parahnya lagi saat realisasi CSR sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan migas, ternyata angkanya jauh dari ekspektasi bahkan gelap.
CSR sesuai UU adalah laba perusahaan yang wajib diberikan ke masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan. 2% itu diambil dari laba dan bukan masuk elemen biaya perusahaan. CSR itu kewajiban perusahaan, terutama perusahaan SDA seperti Pertamina dan Exxon. Maka wajar jika jadi pertanyaan dan kekecewaan publik jika CSR tidak muncul angka, seperti dalam FGD CSR di Bappeda Blora Rabu (21/12) lalu.
***