26.9 C
Blora

Ketegasan yang Tersandung Realita: Ironi Tambang Ilegal di Blora

Korandiva-BLORA.- Suara lantang Wakil Bupati Blora, Sri Setyorini, awal pekan ini membelah perhatian publik. Pernyataannya tegas: tambang galian C ilegal harus ditindak karena merusak lingkungan dan tak memberi kontribusi PAD. Bagi banyak warga, ucapan itu terasa sebagai angin segar—jarang ada pejabat di Blora yang berani berbicara seterang itu.

Namun tak butuh waktu lama hingga kenyataan di lapangan memunculkan pertanyaan besar. Sebab hampir seluruh tambang non-minerba di Blora hingga kini tak mengantongi IUP produksi. Ironisnya, proyek-proyek pembangunan pemerintah justru berjalan dengan pasokan material dari tambang yang berstatus ilegal tersebut.

Di berbagai titik—Ngampel, Jepon, Japah, Kunduran, Bogorejo—pemandangan serupa tersaji saban hari. Alat berat terus bekerja, truk pengangkut material mondar-mandir tanpa henti. Dari kejauhan, bukit-bukit tampak terkelupas pelan. Namun dari sisi hukum, seluruh aktivitas itu seperti tak pernah tercatat: tak ada IUP, tak ada SIPB, tak ada dasar penarikan pajak daerah.

Material memang mengalir deras untuk proyek fisik, tetapi PAD dan kepastian hukum justru macet di tempat.

Di sinilah ironi itu mencuat. Negara, yang semestinya paling dirugikan oleh tambang ilegal, justru ikut menikmati keberadaannya. Harga material yang lebih murah—karena tanpa beban pajak dan kewajiban reklamasi—membuat kontraktor diuntungkan. Proyek rampung lebih cepat, pemerintah bisa meresmikan bangunan, dan semua pihak merasa diuntungkan. Yang tertinggal hanya jejak kerusakan lingkungan dan jalan desa yang pelan-pelan rusak, tanpa pernah masuk laporan proyek.

Ketua DPD APTI Blora, Supriyono, sudah lama mengingatkan bahwa akar persoalan bukan semata keberanian menindak, melainkan cacat pada kebijakan tata ruang. Perda RT-RW Blora tidak menyediakan zonasi jelas untuk tambang galian C. Akibatnya izin produksi tak bisa diterbitkan, pengusaha tak punya jalur legal untuk mengurus perizinan, dan pemerintah daerah terjebak di posisi antara: secara formal melarang, tapi secara faktual membiarkan aktivitas berjalan karena kebutuhan material tak bisa dihentikan.

Dalam situasi serba ganjil ini, pernyataan keras Bude Rini menjadi ujian. Apakah seruan “perang terhadap tambang ilegal” akan berubah menjadi tindakan nyata, atau hanya menambah daftar kutipan pidato yang mudah dilupakan?

Sejumlah langkah mendesak telah banyak disebut para pemerhati: revisi RT-RW berbasis data dengan melibatkan publik, pembukaan jalur perizinan yang jelas dengan syarat lingkungan ketat, penegakan hukum setelah pintu legal disediakan, serta transparansi PAD yang memberi manfaat bagi desa sekitar tambang.
Blora kini berdiri di persimpangan penting. Di satu sisi ada keberanian menyebut tambang ilegal sebagai ancaman lingkungan dan masa depan. Namun di sisi lain, selama tata ruang tak dibenahi dan zonasi tak disediakan, kabupaten ini akan terus membangun dengan material yang secara hukum “haram”, sambil di permukaan tetap mengecam aktivitas yang sama.
Sebuah ironi yang terus menunggu untuk diselesaikan—bukan dengan pidato, tetapi dengan keberanian mengubah aturan. (*)

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait