Korandiva-BLORA.– Di tengah jauh dari hiruk-pikuk kota besar, sebuah gagasan tumbuh menjadi gerakan. Bupati Blora H. Arief Rohman memperkenalkan visi “Blora Kreatif”, arah baru pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ide, inovasi, dan bakat warga. Bagi Arief, masa depan Blora tak hanya berada pada migas, hutan jati, atau sektor tradisional yang selama ini menopang ekonomi daerah, tetapi pada kreativitas manusianya.
Gagasan itu lahir dari pengamatan Arief selama berinteraksi dengan para pelaku lokal: fotografer muda yang menjadikan jalan kampung sebagai studio, pembuat film pendek yang merekam kisah-kisah rakyat, perajin kayu yang menembus pasar luar Jawa, hingga UMKM kuliner yang memodernkan resep lama. “Kalau semua ini diberi panggung, Blora bisa bangkit dengan wajah baru,” ujarnya.
Pemkab pun mulai membangun ruang kolaborasi: festival ekonomi kreatif, pameran seni, pusat komunitas, hingga pembentukan Komite Ekonomi Kreatif (KEK) Blora. Arief menegaskan langkah itu bukan seremonial, tetapi investasi jangka panjang. “Kreativitas harus punya rumah. Pemerintah hadir untuk menyediakan itu.”
Ruang-ruang tersebut mempertemukan komunitas yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri. Fotografer kini berkolaborasi dengan UMKM, pemuda desa belajar desain digital, dan perajin kayu bekerja sama dengan pelaku promosi daring. Ekosistem kecil yang dulu terpecah mulai terhubung.
Selama ini Blora dikenal dengan sumber daya alamnya: kayu jati, pertanian, peternakan, dan migas. Arief ingin menambahkan identitas baru: Blora sebagai kabupaten kreatif yang mampu bersaing di tingkat provinsi maupun NASIONAL. Ia menilai capaian Blora yang pernah melompat dari peringkat 80 ke 16 besar dalam Indeks Inovasi Daerah sebagai bukti bahwa aparatur dan warganya siap didorong lebih jauh. Tekad Arief semakin kuat saat melihat langsung potensi desa.
Dalam sebuah kunjungan, seorang pemuda menunjukkan hasil editing video dari laptop tua. “Kami ingin karya kami juga dilihat orang kota,” katanya. Pada kesempatan lain, seorang perajin lansia memperlihatkan ukiran limbah jati yang menunggu akses pasar. Bagi Arief, cerita-cerita seperti itu bukan kisah pinggiran, melainkan peta jalan masa depan.
Ia menyadari pembangunan ekosistem kreatif tak bisa dikerjakan pemerintah sendiri. UMKM, komunitas seni, dunia pendidikan, swasta, dan media lokal harus bergerak bersama. “Kreativitas milik semua orang. Pemerintah hanya memantik, masyarakat yang menghidupkan,” ujarnya.
Di tengah kompetisi antar daerah, visi “Blora Kreatif” menjadi fondasi arah baru pembangunan: ekonomi berbasis inovasi, seni, budaya, teknologi, dan nilai tambah. “Banyak mimpi di sini yang hanya menunggu kesempatan. Tugas kami membuka pintunya,” ucap Arief.
Gerakan itu kini terus berjalan—pelan namun pasti. Dari studio kecil di garasi, panggung seni desa, UMKM rumahan, hingga ruang kreatif yang baru tumbuh. Blora sedang membangun masa depannya, dan Arief percaya: kota kecil pun bisa menjadi rumah besar bagi mimpi-mimpi kreatif jika diberi kesempatan untuk tumbuh. (*)



