25.7 C
Blora

Saatnya BPE Berpikir

KABUPATEN BLORA dan BOJONEGORO memiliki kemiripan yang kuat dalam hal sumber daya alam. Dua daerah yang hanya dipisahkan Bengawan Solo ini sama-sama memiliki hutan jati luas dan sekitar 500 titik sumur minyak tua peninggalan Belanda di masing-masing kabupaten. Di Bojonegoro, sumur-sumur tersebut tersebar di Ngasem, Kedewan, Malo, dan Margomulyo. Sementara di Blora berada di Sambong, Jiken, dan Jepon.

Meski jumlah titiknya hampir sama, produktivitas keduanya kontras. Di Bojonegoro, hampir seluruh sumur tua kini kembali aktif. Di Blora, lebih dari separuh justru berhenti beroperasi. Kondisi ini tidak lepas dari keputusan para investor yang cenderung memilih Bojonegoro sebagai lokasi eksplorasi. Alasannya jelas: iklim investasi di sana jauh lebih ramah.

PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS), BUMD setempat, dinilai mampu memberikan rasa aman melalui komunikasi yang baik dengan pemerintah daerah dan Muspida. Sejak lama, nyaris tidak ada investor sumur tua di Bojonegoro yang berurusan dengan aparat hukum, kecuali kasus pengeboran liar tanpa izin. Situasi itulah yang membangun kepercayaan dan membuat investor betah.

Kondisi berbeda dialami penambang di Blora. Para pekerja di Ledok, Semanggi, dan Bangowan mengaku sudah sering mengajak investor masuk, namun kerja sama berhenti di tengah jalan akibat minimnya dukungan dan perlindungan dari BUMD PT Blora Patra Energi (BPE). Salah satu persoalan berulang adalah sulitnya izin untuk pengeboran samping (side tracking) atau pemasangan pompa submersible, yang dinyatakan tidak sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2008.

Baca Juga:  Bulan Bakti Pramuka, Kwaran Cepu Gelar Vaksinasi Covid-19

Padahal, di Bojonegoro, pengeboran samping justru menjadi kunci hidupnya ratusan sumur tua. Mayoritas sumur peninggalan Belanda hanya bercassing 5 inci—terlalu kecil untuk pompa submersible—sehingga side tracking menjadi pilihan paling realistis. Cara ini memungkinkan pemasangan pompa lebih besar dan akan meningkatkan produksi. Di Bojonegoro, kegiatan tersebut masuk dalam kategori well service dan tidak menjadi persoalan hukum.

Sebaliknya, pernah terjadi kasus di Ledok di mana investor yang mencoba side tracking justru terseret masalah hukum. Situasi ini membuat banyak calon investor mundur, meski mereka berniat membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah. Ironis, padahal seluruh minyak dari sumur tua tetap disetor ke Pertamina dan membantu menekan impor.

BPE semestinya tidak hanya terpaku pada aturan tertulis, tetapi juga memahami praktik lapangan seperti yang diterapkan Bojonegoro dan TUBAN. Dengan jarak yang tak jauh, studi banding sangat mungkin dilakukan untuk melihat bagaimana regulasi dapat dijalankan tanpa menghambat produksi.

Menariknya lagi, jumlah sumur aktif di Bojonegoro bahkan melebihi jumlah titik yang ada. Satu titik sumur tua bisa memiliki dua hingga tiga mulut sumur hasil pengeboran samping—sebuah pemandangan yang nyaris tidak dijumpai di Blora.

Potensi Blora sebenarnya sama besar. Yang membedakan hanyalah keberanian merumuskan kebijakan yang lebih adaptif dan kesiapan memberi ruang bagi mereka yang ingin menghidupkan kembali warisan sumur tua itu.
***

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait