Korandiva-BOJONEGORO.- Sujito (65) berdiri tertunduk di ruang sidang Pengadilan Negeri Bojonegoro. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, saat palu Ketua Majelis Hakim Wisnu Widiastuti diketukkan, Kamis (11/12/2025). Vonis yang dijatuhkan bukan hukuman biasa, melainkan hukuman mati. Sejak saat itu, nasib hidupnya ditentukan oleh keputusan pengadilan.
Majelis hakim menyatakan Sujito terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap dua orang jemaah Salat Subuh di Musala Al-Manar, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro. Perbuatannya dinilai melanggar Pasal 340 KUHP, pasal terberat dalam perkara pembunuhan.
Vonis mati ini lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bojonegoro yang sebelumnya menuntut hukuman penjara seumur hidup. Majelis hakim memiliki pertimbangan sendiri.
Tindakan terdakwa dinilai sangat keji, dilakukan di tempat ibadah, saat para korban tengah khusyuk menunaikan Salat Subuh berjemaah.
“Majelis hakim melihat tidak ada rasa penyesalan dari terdakwa, baik dari sikap maupun ucapannya,” ujar Hakim Wisnu saat membacakan pertimbangan yang memberatkan putusan, Jumat (12/12/2025).

Ingatan publik Bojonegoro masih lekat pada peristiwa berdarah yang terjadi Selasa pagi, 29 April 2025. Saat azan Subuh baru saja berlalu, Abdul Aziz, Ketua RT setempat, berdiri di saf bersama jemaah lain di Musala Al-Manar. Tanpa peringatan, Sujito datang membawa parang dan langsung membacok korban. Abdul Aziz tewas seketika di tempat ibadah yang selama ini menjadi ruang doa dan kebersamaan warga.
Kekerasan itu tak berhenti pada satu korban. Arik Wijayanti, istri Abdul Aziz, yang berusaha melindungi suaminya, ikut diserang hingga mengalami luka parah. Seorang tetangga korban, Cipto Rahayu, juga menjadi sasaran amukan dan kehilangan nyawanya.
Di ruang sidang, setelah vonis dibacakan, Sujito tak segera menyatakan sikap. Melalui penasihat hukumnya, Sunaryo, terdakwa memilih pikir-pikir untuk menentukan apakah akan menerima putusan atau mengajukan banding.
Sementara di sisi lain ruang sidang, keluarga korban menyambut putusan tersebut dengan perasaan lega. Salah satu anggota keluarga korban, Ifnu Dika Rinanto, menyatakan vonis mati itu telah menjawab rasa keadilan yang mereka harapkan.
“Putusan ini sesuai dengan harapan keluarga kami,” ucapnya pelan.
Bagi keluarga korban, palu hakim bukan hanya penutup sebuah sidang, tetapi juga penanda bahwa luka yang ditinggalkan tragedi Subuh berdarah itu setidaknya telah mendapat keadilan di mata hukum. (*)



