Korandiva-BLORA.- Agung Heri Susanto tampak berbicara dengan nada tegas ketika menjelaskan bagaimana Dana Desa tahap II yang tak kunjung cair membuat napas program pembangunan di desa-desa melemah. Ketua PRAJA Blora itu hadir bersama para kepala desa dalam pertemuan di rumah dinas Bupati Blora, tempat keluhannya didengar langsung oleh Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto serta Rachmad Pambudy.
Suasana seketika berubah ketika Agus dan Rachmad, tanpa menunda, menghubungi Menteri Keuangan Purbaya di hadapan para tamu yang hadir. Momen itu menjadi isyarat bahwa suara dari desa—yang selama ini kerap tertahan di lorong birokrasi—akhirnya menembus pusat pengambilan keputusan.
Di balik peristiwa itu, desa-desa di Blora sesungguhnya sudah jauh bergerak. Program tahap pertama Dana Desa telah berjalan, APBDes disusun, dan warga turun tangan bergotong royong menata lahan untuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Bahkan, urugan tanah dan pembongkaran bangunan dikerjakan secara swadaya, menunjukkan semangat yang tak pernah padam di akar rumput.
Namun langkah mereka terhenti di tengah jalan. Dana Desa non-earmark tahap II tertahan akibat aturan baru. Program yang sudah dijanjikan kepada warga mendadak tak bisa dilanjutkan. Para kepala desa pun berada dalam posisi sulit, menanggung beban politik sekaligus menjaga kepercayaan publik yang mulai goyah.

PRAJA Blora menyebut kondisi ini sebagai alarm. Menurut Agung Heri Susanto, kebijakan pusat belum sepenuhnya berpijak pada realitas desa. Aturan sering berubah di tengah proses, sementara desa dituntut tetap tertib administrasi dan terus bergerak di lapangan. Ketidaksinkronan itu membuat desa seakan menjadi objek percobaan regulasi.
Di tengah situasi itulah telepon dari rumah dinas Bupati Blora menjadi simbol. Ia bukan penyelesaian, tetapi pembuka jalan. Tanpa kebijakan transisi yang adil dan kepastian pencairan, langkah korektif tak akan membawa perubahan nyata.
Feature ini mencatat satu pesan dari Blora: visi penguatan ekonomi desa tidak cukup berhenti pada slogan. Ia baru bermakna ketika regulasi fiskal, jadwal kebijakan, dan tata kelola pusat selaras dengan ritme desa. Jika Dana Desa terus mengendap, maka yang mengendap bukan hanya dana, tetapi juga kepercayaan warga desa pada negara.
Blora mengingatkan bahwa desa tidak menolak ketertiban administrasi; yang mereka butuhkan adalah kepastian. Bila momentum ini digunakan pemerintah pusat untuk membenahi cara mengatur, bukan sekadar memperketat pengawasan, maka kegelisahan hari ini dapat berubah menjadi langkah maju menuju pembangunan desa yang lebih adil dan berkelanjutan. (*)



