Korandiva – PATI.- Pemerintah Kabupaten Pati melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) resmi melarang peredaran dan penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah-sekolah negeri. Keputusan ini tertuang dalam surat imbauan yang dikeluarkan pada 13 Maret 2025 dan ditujukan kepada seluruh kepala sekolah tingkat SD dan SMP di wilayah tersebut.
Larangan ini bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi respons konkret terhadap keluhan panjang orang tua siswa. Banyak di antara mereka merasa terbebani dengan kewajiban membeli LKS, yang sering kali dijual dengan harga tinggi dan dianggap sebagai beban tambahan di luar biaya pendidikan.
Plt. Kepala Disdikbud Kabupaten Pati, Andrik Sulaksono, menegaskan bahwa larangan ini selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Regulasi tersebut secara tegas melarang tenaga pendidik dan pihak sekolah melakukan praktik jual beli bahan ajar, seragam, maupun perlengkapan pendidikan lainnya.
“Kami ingin menghapus segala bentuk komersialisasi di lingkungan pendidikan. Surat edaran ini kami terbitkan sebagai bentuk penegasan bahwa sekolah tidak boleh lagi menjual LKS atau bahan ajar sejenis,” ujar Andrik.
Lebih lanjut, kebijakan ini juga muncul sebagai tindak lanjut atas laporan masyarakat yang bahkan telah sampai ke Ombudsman. Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan LKS bukan sekadar isu kecil, melainkan problematika sistemik yang butuh penyelesaian.
Di sisi lain, larangan ini mendapat sambutan beragam dari para wali murid. Yusuf (40), seorang wali murid dari Pati, menyambut baik kebijakan tersebut. Menurutnya, penghapusan penjualan LKS dapat mengurangi beban biaya pendidikan yang selama ini dirasa cukup memberatkan.
“Saya punya dua anak yang masih sekolah, dan setiap tahun selalu ada iuran untuk membeli LKS. Kalau ini benar-benar dilarang, tentu jadi kabar baik bagi kami,” kata Yusuf.
Namun, tidak sedikit pula orang tua yang masih ragu terhadap efektivitas kebijakan ini. Beberapa di antaranya khawatir jika tanpa LKS, siswa justru kehilangan pegangan belajar yang selama ini mereka gunakan untuk memahami materi dengan lebih terstruktur.
Dari perspektif tenaga pendidik, larangan ini menjadi tantangan tersendiri. Seorang kepala sekolah SD di Pati mengaku siap mengikuti kebijakan tersebut, tetapi berharap ada solusi pengganti yang jelas.
“Jika LKS dihapuskan, kami perlu sumber bahan ajar yang setara. Guru harus berinovasi dalam menyusun materi pembelajaran agar tetap efektif,” ungkapnya.
Sementara itu, seorang kepala SMP di Pati menyampaikan bahwa LKS selama ini memang menjadi alat bantu bagi siswa dalam memahami materi. “Tanpa LKS, metode pembelajaran harus diadaptasi kembali. Kami berharap Disdikbud memberikan pedoman yang lebih konkret,” katanya.
Untuk memastikan kebijakan ini benar-benar diterapkan, Disdikbud Pati akan melakukan pengawasan ketat di seluruh sekolah. Andrik Sulaksono menegaskan bahwa pihaknya tidak akan ragu memberikan sanksi jika ada sekolah yang masih menjual LKS.
“Kami akan rutin melakukan monitoring. Jika ada yang melanggar, akan ada tindakan tegas sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.
Selain itu, Disdikbud berencana menyediakan modul pembelajaran alternatif yang dapat diakses secara gratis oleh guru dan siswa. Dengan demikian, kualitas pembelajaran tetap dapat terjaga tanpa perlu bergantung pada LKS.
Kebijakan larangan penjualan LKS di sekolah-sekolah Pati adalah langkah besar menuju sistem pendidikan yang lebih transparan dan inklusif. Meski di satu sisi kebijakan ini meringankan beban finansial orang tua, di sisi lain tantangan bagi guru dan sekolah masih perlu diantisipasi.
Keberhasilan aturan ini tidak hanya bergantung pada pengawasan ketat dari Disdikbud, tetapi juga kesiapan sekolah dalam menerapkan metode pembelajaran yang lebih inovatif. Jika dijalankan dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi momentum perbaikan sistem pendidikan di Kabupaten Pati dan daerah lainnya di Indonesia. (*)