PILKADA serentak 27 November 2024 telah usai tanpa ketegangan, khususnya Blora. Hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei terus bermunculan, walaupun ada selisih angka namun sudah memberikan kepastian, bahwa Paslon nomor urut 1, Arief Rohman-Sri Setyorini menang mutlak tampa ada kegaduhan.
Dalam perspektif spiritual, menang atau kalah bukanlah akhir dari segalanya. Agama mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah ketentuan terbaik dari Yang Maha Kuasa. Kemenangan bukan sekadar soal angka, tetapi juga tanggung jawab besar yang mengikutinya. Begitu pula dengan kekalahan, yang seringkali menjadi kesempatan untuk merenung, memperbaiki, dan menata langkah ke depan.
Namun, sejarah politik kita mencatat, kemenangan sering kali membawa “ujian” yang berat. Tidak sedikit pemimpin yang awalnya dielu-elukan justru berakhir di kursi terdakwa karena korupsi, suap, atau praktik bagi-bagi kue kekuasaan untuk tim sukses.
Pilkada, yang semestinya menjadi ajang melahirkan pemimpin amanah, seringkali tercoreng oleh kompromi politik yang tidak sehat.
Bagi pasangan calon yang menang, euforia kemenangan seharusnya tidak membuat lupa diri. Kemenangan adalah amanah rakyat yang harus dipertanggungjawabkan, bukan sekadar pesta politik.
Banyak pemimpin daerah tergelincir karena lupa memprioritaskan kepentingan rakyat dan malah sibuk memenuhi janji politik kepada tim sukses. Fenomena “politik balas budi” seperti pembagian jabatan strategis kepada orang-orang dekat harus dihindari. Ini bukan hanya melanggar prinsip good governance, tetapi juga rentan menyeret pemimpin ke pusaran hukum.
Blora, memerlukan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu menjaga integritas. Tantangan pemba-ngunan di Blora pasca-pilkada tidaklah mudah. Pengentasan kemiskinan hingga perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan menunggu untuk segera ditangani.
Di sisi lain, bagi pasangan calon yang kalah, hasil pilkada bukan akhir dari segalanya. Kekalahan adalah kesempatan untuk introspeksi dan belajar memahami apa yang kurang dalam strategi maupun pendekatan kepada masyarakat. Tidak perlu sibuk mencari kambing hitam atas kegagalan, karena rakyat akan selalu menilai dengan jernih siapa yang benar-benar tulus dan siapa yang sekadar haus kekuasaan.
Blora membutuhkan posisi yang kuat dan konstruktif untuk memastikan pemimpin terpilih tetap bekerja sesuai amanah. Bagi mereka yang kalah, ini adalah momen untuk menunjukkan dedikasi melalui jalur lain, tanpa harus menunggu lima tahun lagi untuk kembali bertarung.
Pilkada bukan sekadar soal siapa yang menang dan kalah, tetapi tentang bagaimana rakyat mendapatkan pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata. Karena itu, peran rakyat tidak berhenti pada hari pencoblosan. Rakyat Blora harus terus mengawal kebijakan pemimpin terpilih dan memas-tikan mereka tetap berada di jalur yang benar.
Mari kita renungkan, apakah kemenangan yang diraih benar-benar membawa kebaikan, atau justru menjadi pintu bagi bencana hukum dan moral? Menang atau kalah hanyalah bagian dari dinamika duniawi. Yang terpenting adalah bagaimana kita semua, baik pemim-pin maupun rakyat, tetap men-jaga amanah untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera, dan diridhai Yang Maha Kuasa.
***