Korandiva-BLORA.- Ini seperti cerita dongeng tapi ini benar-benar kisah perjalanan yang dilakukan oleh para kesatriya asal Blora. Bukan fiksi seperti misteri Gunung Merapi yang tokohnya adalah Mak Lampir, tapi ini adalah sebuah perjalanan spiritual—sebuah perjalanan budaya yang dilakukan oleh tiga tokoh asal Blora yaitu Bambang Sulistya, Gundala Wejasena, dan Ngaliman.
Bambang Sulistya adalah mantan kepala Dinas Pertanian Blora, mantan Sekda Blora, mantan anggota DPRD Blora yang juga penasihat Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Blora.
Gundala Wejasena pada waktu masih menjabat kepala Dinas Pangan Pertanian Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blora atau disingkat DP4, dan Ngaliman yang ketika itu masih sekretaris tapi sekarang menjabat kepala DP4 Blora.
Kejadian ini dialami ketiga tokoh tersebut satu tahun silam, tepatnya ketika sedang mengikuti PENAS XVI pada Juni 2023 di Kota Padang. Pada waktu itu ketiganya bersepakat “mumpung” sedang berada di Sumatera Barat, “kita harus mampir ke Sawahlunto, kita akan mencari makam Samin Surosentiko.”
Sebenarnya pada waktu itu Gundala, salah satu dari mereka dalam kondisi sakit akibat cuaca di Kota Padang yang terlalu panas. Tetapi karena sudah menjadi tekad mereka, maka diputuskan untuk tetap harus berangkat bersama.
Selain mereka bertiga, ada juga beberapa staf DP4 bidang penyuluhan yang juga turut diantaranya Slamet Istiyono, Ira, dan Joko. Mereka berangkat pukul 13.00 WIB (bakda sholat dhuhur). Mereka berangkat menggunakan mobil carteran dengan tujuan Kota Sawahlunto yang benar-benar belum mereka ketahui.
Ternyata Kota Sawahlunto cukup jauh dari Kota Padang, memasuki waktu Magrib rombongan baru tiba di kota tersebut. Mereka mampir di sebuah rumah makan yang menyediakan menu sate padang, untuk mengisi perut sekaligus melaksanakan salat magrib.
Diantara mereka sudah terlihat lelah, dan tampak putus asa karena hampir setengah hari berada di lokasi panas lalu dilanjutkan perjalanan yang cukup jauh.
Akhirnya, hanya Bambang Sulistya, Gundala, dan Ngaliman yang berangkat diantar oleh sopir dan seorang tukang parkir yang mengaku tahu keberadaan makam di atas bukit.
Ternyata keberadaan makam tersebut belum banyak diketahui warga, namun kebetulan ada tukang parkir yang mengaku tahu dan bersedia mengantar.
Selama perjalanan menuju makam, mobil merayap lamban karena kondisi jalan berliku-liku dan menanjak ke atas bukit yang bertuliskan “Sawahlunto” dalam ukuran besar. Dari informasi yang dikumpulkan, ternyata tempat tersebut merupakan lokasi penambangan batubara.
Begitu sampai di sebuah pertigaan, tukang parkir menyuruh mobil naik ke atas alias belok ke kanan. Ternyata jalan jalan tanjakan di situ cukup curam, hampir 70 derajat.
“Apa mobil bisa naik sampai ke lokasi?,” tanya Bambang Sulistya kepada tukang parkir.
Belum sempat dijawab, Bambang bertanya lagi, “Apa pernah ada mobil sampai ke atas sana?”
“Belum pernah,” jawab tukang parkir singkat. Mendengar jawaban itu, Bambang minta pada sopir untuk berhenti, lalu rombongan memutuskan untuk naik ke atas dengan jalan kaki.
Bambang Sulistya sempat ragu, tapi Gundala berkata, “Jauh-jauh dari Blora kita hanya ingin ziarah ke makam Samin Surosentiko dan kita sudah sampai, kenapa harus mundur?”.
Mendengar apa yang disampaikan pria brewok itu, berkobar lagi semangat Bambang dan Ngaliman pada malam itu. Mereka berjalan sambil menembus kegelapan, tanpa tahu mereka sedang berjalan di hutan belantara.
Suara jangkrik dan binatang liar membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di sebuiah tanjakan mereka berjalan agak pelan, tiba-tiba si tukang parkir menarik tangan Bambang lalu dengan cepat menuntunnya ke atas bukit.
Dalam kegelapan dan kelelahan, tangan Gundala selalu digandeng oleh Ngaliman. “Nafasku tinggal satu-satu Pak,” keluh Gundala menceritakan kondisinya yang kurang fit.
“Kuatkan Pak Gundala, kita harus sampai ke atas,” ujar Ngaliman memberikan semangat.
“Ya, kita harus sampai ke atas,” balas Gundala.
Bayangan sosok Bambang Sulistya bersama tukang parkir tiba-tiba lenyap dari pandangan Gundala dan Ngaliman. Bahkan keduanya sudah tidak melihat lagi jalan setapak yang dilewatinya. Keduanya berjalan hanya mengikuti perasaan hati bahwa yang mereka lalui itu adalah sebuah jalan menuju cita-cita bersama, yaitu makam Mbah Samin Surosentiko.
Sudah satu jam perjalanan tapi mereka belum juga melihat tanda-tanda adanya makam. Gundala dan Ngaliman baru sadar bahwa mereka telah kehilangan bopo Bambang.
Suara gonggongan anjing dari kejauhan membuat bulu kuduk bergidik. Tiba-tiba Gundala berteriak memanggil Bambang Sulistya. Tidak ada sahutan, akhirnya Ngaliman pun ikut berteriak dengan suara hampir menangis. “Pak Bambaaaaaaang…””
Masih belum ada jawaban juga, Gundala yang baru ingat kalau dirinya membahwa HP lalu mencoba menghubungi Bambang Sulistya. “Saya ada di depan jenengan,” jawab Bambang yang membuat Gundala lega.
“Tunggu, Pak,” teriak Gundala.
Setelah berjalan menanjak hingga setengah jam, baru mereka bertemu Bambang yang masih didampingi tukang parkir.
“Dimana makam itu,” tanya Bambang pada orang yang mendampingi.
“Di sana,” jawab tukang parkir itu sambil menunjuk arah, lalu mereka berempat bergerak naik.
Hingga sampailah mereka di sebuah tempat seperti rumah adat dengan tiang-tiang yang cukup besar. Mereka pun menebak-nebak, mungkinkah ini makam Mbah Samin? “Luar biasa bagusnya,” ucap mereka pelan namun hampir bersamaan.
Tiba-tiba sosok wanita cantik keluar dari dalam rumah hingga membuat perasaan tratap bagi semua mata yang melihatnya.
Lalu Gundala bertanya kepada wanita itu tentang keberadaan makam Mbah Samin Surosentiko. Sosok wanita yang didampingi seorang laki-laki dan seorang wanita tua pada malam itu menjawab, tidak tahu.
Lalu wanita itu mempersilahkan rombongan dari Blora untuk duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Selanjutnya terlibat diskusi tentang keberadaan makam tokoh dari Blora bernama Mbah Samin Surosentiko.
Sambil manggut-manggut lelaki yang mendampingi wanita itu berkata, bahwa di tempat itu memang ada makam orang Jawa, yaitu orang-orang rantai yang dipimpin orang bernama Mbah Suro.
“Nah, dia itu yang kita cari, Mbah Suro atau Surosentiko. Nama lengkapnya Samin Surosentiko,” ujar mereka bertiga hampir bersamaan.
Kemudian laki-laki itu melanjutkan ceritanya, bahwa dulu di zaman Be-landa ada orang-orang Jawa yang dirantai dan bekerja untuk Belanda melakukan penambangan batubara. Pemimpin dari orang rantai tersebut adalah Mbah Suro, dan Mbah Suro meninggal di dalam sebuah lubang penambangan batubara yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan goa Orang Rantai.
“Mereka dimakamkan di pemakaman umum, di bawah sana,” jelas lelaki itu sambil menunjuk ke sebuah arah.
Ditambahkan oleh lelaki itu, bahwa letak makam berada di bawah per-tigaan. Artinya, di bawah lokasi mobil yang diparkir.
Namun tiba-tiba, perempuan cantik itu mendekat ke telinga Bambang sambil berbisik, namun tidak ada yang tahu apa yang dibisikkan.
Setelah selesai minum jamuan kopi, rombongan Blora turun menuju tem-pat mobil diparkir dengan berjalan kaki. Di dalam kegelapan, Gundala yang sejak berangkat badannya kurang sehat sempat mengajak berhenti di beberapa tempat karena kelelahan.
Sampailah juga mereka di tempat mobil diparkir. Dengan diantar oleh Pak Sopir, mereka menuruni jalanan secara bersama-sama. Di perjalanan, mereka sempat bertemu dengan sekelompok orang yang sedang minum kopi di warung.
Kebetulan salah seorang dari kelompok itu adalah ketua RW setempat, dan bersedia mengantar rombongan ke tempat makam Orang Rantai yang diyakini sebagai makam Mbah Samin Surosentiko.
Di lokasi makam tidak bisa diketahui mana yang makam Mbah Samin Surosentiko karena di situ terdapat beberapa makam orang rantai. Di tempat itu mereka sempat foto bersama dalam kegelapan malam. Walaupun menggunakan cahaya HP, tetap saja hasil fotonya tidak tampak dengan jelas.
Setelah menjalani semua ritual, mereka pun pamit pulang. Masih ber-sama tukang parkir menuju rumah makan sate Padang untuk menjemput tiga orang staf DP4 yang menunggu di tempat itu.
Di perjalanan semua penumpang membisu, tak ada yang berkata-kata karena benar-benar kelelahan. Setelah menurunkan tukang parkir, rombongan Blora yang sudah komplit meluncur kembali ke Kota Padang.
Di dalam mobil, Bambang Sulistya baru menceritakan tentang bisikan wanita cantik yang sempat dikira makhluk halus itu, “Kenapa bapak bersama orang itu (tukang parkir), dia itu orang yang agak stress dan sudah hampir dua kali terjun dari puncak bukit yang ada tulisan Sawahlunto”. Mendadak semua bergidik, “Untung Pak Bambang tidak diajak terjun,” ucap Gundala.
Seperti diceritakan Gundala dalam tulisan ini, dia masih berharap pada suatu saat nanti bisa datang lagi ke Sawahlunto namun pada siang hari agar bisa melihat dengan jelas keberadaan makam Mbah Samin Surosentiko, tokoh dari Blora. (*)