SEJAK lama Kabupaten Blora dikenal sebagai penghasil minyak bumi mentah. Cepu juga disebut-sebut sebagai salah satu ladang minyak tertua di dunia, bahkan sempat mendapat perhatian dunia internasional ketika di kawasan Blok Cepu ditemukan cadangan minyak bumi mencapai 250 juta barel.
Di wilayah kecamatan Sambong dan Jepon banyak tinggalan sumur minyak bumi buatan Belanda. Namun, walau dikatakan hidup diatas kekayaan minyak ternyata rakyat Blora masih hidup dalam kemiskinan.
Walaupun sudah sering berganti, banyak pemimpin di Blora masih berpikir untuk kepentingan diri pribadi dan golongannya sendiri, kepentingan untuk rakyat masih dinomor-tigakan. Eksploitasi sumber daya alam (SDA) seperti halnya sumur minyak tua selama ini belum diorientasikan untuk kemakmuran rakyat melainkan masih untuk kepentingan pribadi pejabat dan penguasa.
Dengan kondisi sumber daya alam yang hampir sama dengan kabupaten tetangga pada 30 tahun silam, Blora sekarang tertinggal jauh dibanding Kabupaten Bojonegoro. Padahal dua kabupaten yang hanya dipisahkan oleh Bengawan Solo ini juga memiliki potensi hutan kayu jati dan cadangan minyak bumi yang melimpah.
Selain tidak bisa membuat betah ExxonMobil bermarkas di Cepu, Blora ternyata juga tidak mampu ngopeni sumur minyak tua tinggalan Belanda. Dari jumlah 558 sumur yang tersebar di beberapa kecamatan, sumur tua yang berproduksi di Blora hanya berkisar 125. Sementara Bojonegoro yang memiliki potensi 493 sumur minyak tua, yang berproduksi 250 sumur.
Kalau sumur tua Blora setiap bulannya setor sekitar 800 ribu liter ke Pertamina, sumur tua Bojonegoro mampu mengirim minyak mentah hampir 2 juta liter setiap bulannya.
Pungutan sebesar 23 persen yang dibandrol oleh BPE tidak hanya membuat investor luar tidak tertarik mengelola sumur tua di Blora, bahkan beberapa pengusaha asal Bumi Samin ini banyak yang lebih memilih bekerjasama dengan penambang minyak di Bojonegoro.
Adanya paguyuban atau perkumpulan dan paguyuban di Blora dianggap sebagai kepanjangan tangan dari BPE untuk meminta bagian dari hasil usaha penambang dan investor. Kalau keberadaan paguyuban atau perkumpulan penambang itu tidak memiliki landasan hukum, maka pungutan yang dilakukan bisa dikategorikan pemalakan.
Kondisi ini tentunya sudah dipahami oleh BPE yang sempat kebakaran jenggot ketika ada pihak yang mengancam dan mau mengungkap persekongkolannya dengan perkumpulan penambang dalam melakukan pungutan terhadap penambang. Kalau pungutan yang ada dianggap hal wajar, kenapa BPE harus ketakutan hingga mau bayar 50 juta untuk berdamai dengan oknum wartawan?
Bahkan, ada dugaan uang hasil pungutan yang dilakukan oleh perkumpulan penambang minyak ini juga ada yang mengalir ke atas hingga pada sejumlah pejabat dan penguasa.
Jika benar kondisi di Blora seperti ini, maka tak salah bila mulut sumur Blok Cepu yang dulunya berada di Kabupaten Blora itu sekarang berpindah ke Bojonegoro.
***