ENTAH apa yang ada di benak Arief Rohman sebelum dan setelah dilantik menjadi bupati Blora pada 26 Februari 2021. Sehingga dia selalu berpikir untuk membuat gerombolan dari orang luar birokrasi.
Hitung-hitung sudah tiga kali ini Bupati Arief membentuk gerombolan yang dikemas dalam label “tenaga ahli”.
Gerombolan pertama beranggotakan 6 orang dengan latar belakang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Timses. Mereka berkantor di Gedung Mall Pelayanan Publik (MPP) dengan tugas utama mengoptimalkan pelayanan masyarakat.
Walaupun menyandang “ahli” tapi dalam sehari-hari sering kita jumpai kegiatan mereka merawat dan menyiram tanaman. Ruang yang disediakan pun sering kosong, tidak berpenghuni.
Tidak berumur panjang, kurang lebih enam bulan gerombolan ini bubar. Kabarnya ka-rena sistim pembagian rezeki yang tidak merata.
Gerombolan kedua bernama Staf Khusus Bupati. Lebih langsing, anggotanya cuma 3 orang. Dua orang dari partai politik, dan satu orang Timses. Tugasnya, memberikan saran dan nasihat kepada Bupati.
Sejak awal dibentuk, keberadaan Stafsus sudah menimbulkan pro kontra, mulai permintaan ruang kerja khusus hingga fasilitas mobil mewah.
Pas satu tahun, gerombolan ini dibubarkan setelah ada evaluasi dari Gubernur yang menyatakan pembentukan Staf Khusus Bupati tidak ada landasan hukumnya.
Gerombolan yang baru bernama TP2D, kepanjangannya Tim Percepatan Pembangunan Daerah. Anggotanya 11 orang. Dari unsur Parpol 5 orang, dari unsur Tim Sukses Pilkada 6 orang.
Tugasnya, memberikan masukan kepada Bupati dalam penyusunan arah prioritas dan kebijakan percepatan pembangunan Daerah.
Sebagaimana yang sudah dinikmati oleh 3 orang staf khusus bupati, honor untuk anggota gerombolan ini diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang besarannya berkisar 10 juta per orang per bulan. Belum termasuk fasilitas pendukung yang lain.
Walaupun di daerah lain juga ada yang bikin TP2D, tapi Blora yang masuk kategori miskin ini apa juga harus meniru kabupaten lain yang pendapatan asli daerah (PAD)-nya jauh lebih besar?
Kalau bupati bermaksud ingin balas budi, bukankah 300 ribu lebih rakyat Blora yang memilih pasangan Arief-Etik pada Pilkada kemarin lebih pantas untuk mendapatkan kemakmuran terlebih dahulu.
Mereka adalah petani yang hingga kini masih kesulitan mendapatkan pupuk subsidi. Mereka adalah pedagang kecil yang masih terjerat rentenir dengan bunga 20 persen. Mereka sampai sekarang juga belum bisa menikmati jalan halus seperti yang digembar-gemborkan oleh bupati Arief.
Anggota TP2D harusnya juga sadar, Blora ini kemarin sempat “ngemis” ke Bojonegoro dan mengajukan hutang ke bank untuk membiayai infrastruktur. Kenapa harus ditambahi beban anggaran untuk gaji para anggota gerombolan.
Jika tim TP2D menyadari hal itu, tentunya tidak perlu minta bupati untuk membubarkan, tapi akan lebih elegan dan terhormat jika anggota TP2D yang mundur pelan-pelan.