Kasus perangkat desa (Perades) di Kabupaten Blora bisa dibilang kasus besar yang untuk membongkarnya tidak bisa dilakukan dari atas, karena diduga melibatkan orang-orang kuat di jajaran Forkompinda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) yang di dalamnya ada Bupati, Pimpinan DPRD, Pimpinan Kepolisian, Pimpinan Kejaksaan, dan Pimpinan Satuan Teritorial Tentara Nasi-onal Indonesia di daerah.
Bupati punya 16 camat dan Kesbangpol, DPRD ada 45 anggota dewan yang tinggalnya menyebar, Polres, Dandim, dan Kejari juga memiliki intel. Maka sulit dipercaya jika tidak melihat pelanggaran yang cukup fulgar dalam proses seleksi perangkat desa.
Tapi kenapa kasus Perades yang terjadi hampir di seluruh wilayah Blora, dan sudah sangat meresahkan masyarakat ini harus berlarut-larut hingga 4 bulan, dan belum ada satu pun unsur Forkompinda yang turun tangan, minimal memberikan teguran kepada bupati selaku ketua Forkompinda.
Bila kasus perades Blora akhirnya menggelinding ke Provinsi dan “memaksa” gubernur untuk turun tangan, itu namanya sudah keterlaluan. Karena urusan perangkat desa adalah urusan dalam rumah tangga Kabupaten Blora.
Diduga banyak sekali pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses seleksi perades di Kabupaten Blora. Mulai dari jual beli jabatan, pemalsuan SK, Korupsi dan Nepotisme, hingga dugaan kecurangan sistem tes CAT (Computers Assisted Test).
Diluar perkiraan semua orang jika pelanggaran hukum dalam seleksi Perades di Kabupaten Blora akhirnya terkuak dari kecurangan yang terstruktur sistematis dan massif (TSM) dalam tes CAT.
Seorang gadis bernama Ami'ul Khasanah, warga Desa Talokwohmojo, Kecamatan Ngawen, yang dari hasil CAT di Semarang berada di peringkat satu tapi gagal dilantik sebagai kepala dusun.
Dari kasus CAT bermasalah inilah ratusan perangkat desa yang gagal bergabung dalam satu forum dan minta kepada Badan Siber Sandi Nasional untuk melakukan audit forensik.
Ibarat ngglandang carang saka pucuk (menarik ranting bambu dari ujung), melalui pemeriksaan keyboard komputer yang berada di salah satu meja kampus di Semarang itu bisa menguak, siapa aktor kecurangan yang ada di Blora.
Walaupun sempat menimbulkan tanda tanya besar, sikap Bupati Blora yang terkesan menghindar ketika diminta untuk memberikan persetujuan audit forensik kepada BSSN akhirnya bisa dimaklumi karena masih butuh waktu untuk konsultasi kepada atasannya, yaitu Gubernur Jawa Tengah.
Pada tanggal 16 Maret lalu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah menyampaikan surat kepada Bupati Blora untuk memfasilitasi permohonan Forum Perades Gagal yang meminta Audit Forensi kepada Badan Siber Sandi Negara (BSSN) atas dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan CAT seleksi calon perangkat desa di Kabupaten Blora. Jika setelah ini masih saja bupati bergeming dan tidak mengambil langkah, maka tak bisa disalahkan jika masyarakat Blora–khususnya yang tergabung dalam forum perades gagal menduga Bupati Blora terlibat.