STOK minyak goreng di sejumlah pasar tradisional dan pertokoan di Blora masih terbatas. Meski demikian masyarakat terbantu dengan adanya operasi pasar yang diselenggarakan pemerintah.
Sekedar ingin mengetahui apakah ada stok minyak goreng yang bisa dibeli oleh anggota masyarakat, selama dua hari saya kunjungi sejumlah pasar tradisional dan pertokoan di Blora, untuk melihat langsung realita di lapangan. Saya ke Pasar Rajawali, Swalayan Luwes, Toko Indomart, Alfamart dan Toko Corner 7 di Kota Blora
Di pasar tradisional saya temui kemasan minyak dalam jumlah yang terbatas yang dijual dengan harga lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara di toko-toko dan agen kosong karena belum ada pasokan.
Namun demikian keadaan masyarakat di Blora masih kondusif karena adanya operasi pasar yang sudah terjadwal dalam pemasokan minyak goreng ke toko-toko untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga Rp 14.000/kg. Walau harus antri satu persatu seperti ikut coblosan Pemilu, dan setelah membeli salah satu jari tangan dicelupkan ke botol tinta.
Fakta di lapangan memunculkan sebuah pertanyaan, sebenarnya siapa yang lagi menggoreng minyak goreng?
Merunut sejak masa pandemi COVID-19 hingga memasuki tahun Omicron, kegaduhan berita terjadi silih berganti. Istilah goreng menggoreng berita menjadi budaya baru yang ngetren dan ngetop.
Berita biasa saja bisa digoreng apalagi kalau berita yang muncul sudah memiliki konten yang bisa dikaitkan dengan isu politik, suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Dijamin, gorengan beritanya bisa menjadikan suasana makin heboh dan seru.
Sekarang ini, berita tentang virus corona varian Omicron, wayang kulit, kebijakan volume pengeras suara adzan, harga kedelai naik, harga daging sapi melejit, penundaan Pemilu dan menghilangnya minyak goreng di pasaran menjadi narasi dan konsumsi menarik untuk bahan baku gorengan berita di masa pandemi.
Berkaitan dengan berita langkanya minyak goreng, sampai-sampai ada yang mengatakan saat ini suasana di masyarakat sedang merasakan dampaknya “Gorengan Minyak Goreng”.
Akibatnya terjadi kepanikan pembeli mengingat sejak adanya pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia cenderung sering terbawa arus panik dan secara tidak terkendali memberi barang langka dalam jumlah yang banyak sekaligus.
Kepanikan menimbulkan keresahan, ketakutan dan kegaduhan. Solusi untuk mengatasi kondisi yang sudah carut marut adalah dengan mengintensifkan operasi pasar karena pemerintah punya cadangan minyak goreng yang cukup.
Berdasarkan kebutuhan rata-rata minyak goreng secara Nasional sekitar 11 juta liter per bulan. Namun pemerintah sudah menggandakan produksi menjadi 20 juta liter.
Artinya ketersediaan minyak goreng cukup berlebih. Kalau perlu diadakan kebijakan berupa operasi industri untuk menyelesaikan kelangkaan minyak goreng.
Mengingat dengan kebijakan tersebut kita bisa langsung meng-awasi aktivitas produsen minyak goreng sampai mencermati jalur distribusi.
Dari pengamatan bisa ketemu dimana mandeknya rantai penyaluran minyak goreng di tengah masyarakat. Kemudian yang tidak kalah penting dilakukan penegakan hukum bagi yang melakukan penyimpangan dengan penimbunan minyak goreng diberi sanksi dan hukuman yang berat.
Ingat sebuah pepatah, siapa yang bermain api pasti akan kena api sendiri dan bisa jadi siapa yang akan menggoreng minyak goreng bakal kena gorengan sendiri.
Karena gorengan minyak goreng akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan wong cilik yang saat ini menderita dan mendelik akibat dampak COVID-19 yang belum tahu pandemi kapan akan berakhir.
*) Penulis adalah mantan Sekda Blora, dan pernah menjadi anggota DPRD Blora.